Dua Puluh Lima

1.4K 89 5
                                    

Dua orang berbeda jenis kelamin itu berlarian menyusuri koridor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua orang berbeda jenis kelamin itu berlarian menyusuri koridor. Rasa cemas tergambar jelas di wajah mereka. Jay menghentikan langkahnya begitu mendapati siluet di taman FSRD. Dia yakin itu orang yang mereka cari.

"Jay? Ayo!" teriak Lavanya yang sudah di depan. Gadis itu sangat khawatir karena sudah sore hari, tetapi Nadila tidak ada kabar.

Laki-laki itu tak menyahut, dia langsung berbelok ke tempat Nadila duduk. Sesampainya di sana, gadis itu dengan menekuk lutut dan menyandarkan wajahnya di atas. Perlahan, Jay menggoyang bahu Nadila untuk memastikannya masih sadar atau sudah pingsan.

Gadis itu mendongak dengan air mata yang membasahi wajah, sedangkan rambutnya berantakan. "Jay?" panggilnya dengan suara parau.

Jay sedikit miris mendapati betapa kacaunya kondisi Nadila. Laki-laki itu pun spontan menariknya dalam pelukan. Tidak ada penolakan, justru gadis itu kembali menangis, lebih kencang dari sebelumnya.

"Gue capek ... gue udah nggak sanggup," isaknya dalam pelukan Jay. Untuk kali ini, biarkan dia mengadu, biarkan dia lepas semua keresahannya, biarkan dia bersandar pada orang lain.

"Lo bisa andelin gue, Dil. Lo nggak sendirian, ada gue di sini."

Nadila mengeratkan tangannya pada punggung Jay. Tak peduli apa kata orang tentang sikapnya yang begitu berani. Sekarang hatinya begitu sakit sampai membutuhkan sebuah pelukan.

Lavanya yang berdiri tak jauh dari sana, merasakan perasaan campur aduk. Antara senang dan sedih. Senang karena Nadila dan Jay bisa mengandalkan satu sama lain. Sedih karena Nadila pasti banyak masalah sampai menangis di pelukan seseorang sekeras itu.

Dia pun perlahan mendekat saat melihat mereka merenggangkan pelukan. Gadis itu memegang bahu Nadila dan membawanya pergi dari sana. Lavanya menahan diri untuk tidak bertanya agar Nadila bisa menenangkan diri. Padahal hatinya sudah panas dan siap menghajar siapa saja yang membuat sahabatnya begitu menderita.

"Gue nginep di kafe, ya, malam ini? Gue nggak bisa pulang dengan keadaan kayak gini." Nadila buka suara setelah mereka sudah dalam perjalanan pulang.

Tanpa ragu dan banyak tanya, Lavanya langsung mengangguk. Bahkan dia juga berencana untuk menginap di sana bersama gadis itu.

Jay melirik Nadila lewat kaca spion di depan. Tatapan gadis itu kosong, wajahnya juga terlihat lesu. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi? Siapa yang menyakitinya? Mungkinkah mantannya yang kemarin datang lagi?

Namun, lagi-lagi dia harus bungkam. Tidak punya hak bertanya meskipun sangat ingin tahu. Entahlah, dia selalu tidak tenang jika ada sesuatu yang menyangkut Nadila. Padahal dulu saat bersama Jeslyn, dia tidak sekhawatir ini. Apa mungkin karena Nadila menghadapi semuanya sendirian, sedangkan Jeslyn memiliki Kevin untuk diandalkan? Atau memang ada sesuatu yang tak ia sadari telat tumbuh dalam dirinya untuk Nadila?

"Jay! Cepetan jalan!" seruan itu membuat Jay tersadar. Buru-buru dia menginjak pedal gas, melajukan mobilnya sebelum diserang oleh pengendara di belakang. Sejak tadi dia asyik melamun saat berada di lampu merah.

Interested [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang