Ayu memandangi kebaya pengantinnya, kedua sudut bibirnya melengkung membentuk senyum bahagia tidak sabaran. Entah sudah berapa lama melakukan itu dan tidak kunjung menyudahi. Di bayangan Ayu betapa cantik dirinya nanti. Tubuhnya berbalutkan kebaya putih bercorak melati dengan ornamen manik-manik bermacam warna, alis dilukis apik, pipinya terpoles makeup natural, rambut legam lurusnya ditata seindah mungkin, dan akan sempurna oleh hidungnya yang mancung. Di hari pernikahannya, Ayu akan menjadi pengantin paling cantik. Yudistira pasti tidak bosan-bosan memuji.
Lamunan Ayu buyar oleh dering ponsel di atas meja. Diraihnya benda pipih canggih nakal tersebut. Sebentar dahinya berkerut, panggilan dari nomor tidak dikenal.
Belum sempat Ayu mengatakan apa-apa, sosok di balik ponsel seolah tidak mengizinkan.
"Kekasih Anda sedang dalam perawatan intensif. Bisakah Anda datang menyelesaikan administrasi pendaftaran? Saya hanya menemukan nomor Anda di kontaknya."
Dunia Ayu seketika runtuh. Ponsel di genggaman segera jatuh tak beraturan. Kepalanya menggeleng kuat-kuat, dia tidak percaya pada si penelepon. Barangkali ada orang iseng yang sengaja membuat kekacauan mengingat hari pernikahan tersisa dua hari lagi.
Namun, suara televisi malah membenarkan ucapan si penelepon. Di sana disiarkan pesawat dengan nomor yang sama persis seperti yang ditumpangi Yudistira mengalami kecelakaan.
Ayu mematung, mulutnya menganga, pipinya dibanjiri air mata. Sekali lagi dia menggeleng kuat-kuat, lagi-lagi menidakkan keadaan.
*
Ayu berlari tergesa-gesa tidak sabaran hingga lorong rumah sakit itu terasa amat panjang. Entahlah, mungkin langkah kakinya yang kurang cepat.
"Belum bisa masuk, Nona. Dokter sedang melakukan pemeriksaan." Perawat mencegat Ayu di depan pintu ruang instalasi gawat darurat.
"Tapi, saya ingin memastikan." Ayu membuat usaha.
Perawat menggeleng. "Tunggu sampai dokter mengizinkan."
Sang ibu menepuk pelan pundak putrinya isyarat supaya Ayu menuruti perintah perawat.
"Bagaimana kalau ..."
"Pikirkan hal baik. Yudis pasti baik-baik saja. Dia akan menjadi pengantin pria paling tampan dua hari lagi," potong ibunya meski riak ragu kentara terlukis di paras.
Siapa sangka tidak semua hal berjalan mulus. Apa yang ditakutkan Ayu justru terjadi. Hanya 5 jam Yudistira bertahan lalu mengembuskan napas terakhir. Sampai saat ini pun Ayu tetap tidak diizinkan masuk.
"Kenapa saya tidak diizikan bahkan untuk melihat yang terakhir kali?" Ayu berteriak, menyudahi kesabaran.
"Kondisi pasien buruk, tubuhnya tidak lagi utuh. Pihak kami khawatir akan menimbulkan trauma bagi yang melihat," jelas dokter.
Lalu, Ayu hanya mampu menyentuh batu nisan. Hingga Yudistira rata tanah pun tidak diberi izin. Ya, hanya Ayu dan ibunya, yang lain boleh. Dan apabila Ayu bertanya mengapa tidak bisa? Jawaban yang pertama tidak berubah sampai terakhir.
*
Ayu mengira pernikahan akan batal mengingat pengantin pria sudah tiada. Nyatanya tidak. Oleh alasan nama baik keluarga, Ayu telanjur mengandung, pernikahan tetap dilangsungkan. Ayu bertanya bagaimana dengan pengantin pria? Ibu Yudistira menegaskan bahwa tugas Yudistira diambil alih adiknya yang bahkan namanya saja Ayu tidak tahu.
Ayu tidak enak hati pada adik Yudistira. Tidak benar dia mengambil tugas saudaranya. Kebebasannya pasti hilang, bertanggung jawab atas hal yang bukan pilihannya.
"Apa dijelaskan saja yang sebenarnya?" Ayu sempat berpikir. Sayang sekali, keputusan lagi-lagi hanya di pihak keluarga Yudistira.
Sejak awal hubungan Ayu dan Yudistira amat ditentang Ibu Yudistira hanya karena Ayu bukan anak dari keluarga kaya. Dan tentang mengapa pernikahan ini akhirnya direstui, disebabkan Yudistira membuat pengakuan mengenai Ayu yang sedang berbadan dua.
"Jangan menangis terus. Bagaimana bisa menjadi pengantin wanita paling cantik dengan pipi dibanjiri air mata," hibur ibunya menyeka lembut pipi Ayu.
Ayu mengangguk sedih. Dua alasan membuatnya menangis. Pertama, Yudistira pergi selama-lamanya tanpa sempat menepati janji atau sekadar meninggalkan pesan. Kedua, Ayu merugikan saudara Yudistira.
"Apa dia tidak marah?" lirih Ayu.
"Dia pasti orang baik. Buktinya, dia bersedia menggantikan Yudistira. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kakak yang baik akan memiliki adik yang baik pula." Ibu Ayu tersenyum meski sebetulnya pilu.
Bagaimana jika dia dipaksa? batin Ayu.
*
Para hadirin berekspresi bahagia, bangga ketika kedua mempelai dengan lancar mengucapkan janji suci sesuai pimpinan pendeta. Satu orang saja yang berwajah masam yaitu ibu Yudistina, kini ibu mertua Ayu.
"Tidak perlu berwajah bingung begitu. Saya tau kamu pura-pura. Sebenarnya kamu senang telah menjebak saya di pernikahan sialan ini!" bisik pria berkemeja putih, berjas hitam. Dua jam lalu baru Ayu ketahui namanya, Rifadi Gunawan.
Daripada peduli akan ucapan menyakitkan Adi, Ayu memalingkan wajahnya. Matanya menangkup Lilis sahabatnya. Lilis duduk berdampingan dengan suaminya. Kehidupan pernikahan mereka tampak bahagia.
Diakui Adi tampan, lebih tampan dari Yudistira. Tubuhnya tinggi tegap, hidungnya mancung bagai papan pelosotan di taman kanak-kanak, bola mata cokelat tua, alisnya tebal seperti hasil pekerjaan tukang sulam terlatih, dan rahangnya keras terlihat tegas. Jujur, untuk beberapa detik Ayu sempat terpana karismanya.
"Mau bikin anak berapa?" goda Trimo, suami Lilis. Namun begitu membaca mimik Ayu, segera menyesal. Pengantin pria bukan yang seharusnya.
Lilis menyikut lengan Trimo kemudian mendapat giliran memberi Ayu selamat bersama senyum sulit dimakna.
*
Kamar yang luas, tetapi terasa sesak. Telah dua puluh menit Ayu berdiam gusar di bibir ranjang, Adi belum juga menampakkan diri. Sebetulnya Ayu tak ambil pusing, hanya tidak siap menghadapi kemarahan suaminya yang mungkin mampu meledakkan ruangan luas itu.
Pandangan Ayu yang mengedar jatuh pada satu objek, seketika menarik minatnya. Dengan ragu sembari awas ke arah pintu, Ayu menghampiri sang objek. Tanpa sempat menyentuh, mendadak mulut Ayu menganga. Semakin hebat rasa bersalah menyergap.
Adi berpose bersama seorang gadis berambut ikal dengan warna sedikit cokelat, hidungnya mancung apik, alisnya terukir sempurna, pahatan wajahnya terlalu detail dan hati-hati. Sangat cantik.
"Kamu bukan penghuni asli kamar ini, cuma penumpang! Jadi, tolong tau diri. Tidak ada tamu yang sembarangan!" Suara Adi menegas marah dari daun pintu mengagetkan Ayu, urat di sekitar pelipisnya mengembang.
"M-maaf ...." Suara Ayu lirih hampir tak terdengar. Tubuhnya menegang saking amat takut.
Dengan kasar Adi menarik lengan Ayu, lalu tanpa ampun tubuh sang istri diempaskan ke tempat tidur.
"Senang?! Puas?! Kamu dan dia enak-enakan berzina hingga dengan begitu murahan benihnya tumbuh di rahimmu. Dia mati! Sekarang saya yang bertanggung jawab atas tindakan kotor kalian!" Mata Adi nyalang.
"Maaf ...."
Adi menaruh jari telunjuknya di bibir Ayu sebelum kemudian bertukar pada mencengkeram kuat dagu istrinya. "Sssttt ...! Maafmu tidak ada gunanya. Kamu sudah bersuami. Orang-orang akan tetap mengira kamu perempuan baik-baik, anak itu adalah anak saya. Yusdistira itu saudara saya sehingga darah yang mengalir di tubuh anak kotormu itu sama dengan darah yang mengalir di tubuh saya. Kamu selamat dari gunjingan orang lain, tidak dari saya! Inilah hidup yang kau pilih, Rahayu Pramesty, istri cantik namun tukang zina!" Dia tertawa bagai kesetanan.
Adi cepat berlalu usai mengambil pakaian dari lemari, tak lupa membanting kasar pintu kamar mandi, sedangkan Ayu hanya mampu memandang sedu punggungnya.
Ayu tidak meyalahkan Adi. Adalah wajar dia marah sebab bertanggung jawab akan hal yang sama sekali tidak berhubungan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Jodoh Paksa Rela
RomanceAyu dan Yudistira seharusnya menjadi pasangan paling bahagia jika tragedi itu tidak terjadi. Namun, siapa yang bisa menolak fakta? Pernikahan yang ditentang pada awalnya membuat Yudistira berbohong, menyatakan bahwa Ayu sedang mengandung. Nahasnya...