"Kita pergi!" Dua kata. Singkat, padat, dan rancu. Ayu tidak mengerti ke mana arah dan maksud ucapan ini. Yang tampak hanya mimik tidak bersahabat milik Adi sehingga jelas masih marah.
Tidak berniat bertanya, pula tidak berkeinginan mengikuti perintah Adi. Ayu kembali pura-pura sibuk dengan ponselnya.
Adi meniupkan napas kasar, mata nyalangnya kian menyirat kesal. "Saya lihat kamu berpotensi menjadi menantu impian papa. Saya tidak pandai bersandiwara, jadi lebih baik tidak tinggal di rumah ini."
"Kita?"
"Maksudmu cuma saya? Kamu sadar, kan, istri siapa?"
"Istri kamu. Itu pun tidak yakin."
Adi tak menanggapi. Dia mengambil koper kemudian dengan tetap diam mengemasi pakaiannya. Ayu hendak mengikuti namun teringat barang-barangnya memang masih tersimpan rapi di koper sejak detik pertama menginjakkan kaki di rumah orang tua suaminya itu.
Ke mana mereka akan pergi? Pertanyaan ini terjebak di kepala Ayu karena tidak kunjung mendapat jawaban. Dua kali telah dia beranikan bertanya akan tetapi Adi seperti tidak mendengar. Pemandangan di luar jendela seolah menghipnotis suaminya atau memang dirinya yang seakan tidak ada.
Semakin jauh kendaraan melintas, semakin hilang keramaian kota. Matahari sudah tinggi, cahanya menembus kaca mobil membikin silau mata. Kiri kanan penuh pepohonan sawit, sebentar jalan lurus dan sisanya berkelok-kelok.
"Bisa berhenti sebentar?"
Meski tetap tak bersuara, kali ini Adi mendengarkan Ayu. Kendaraan roda empat lantas berhenti di tepi jalan.
"Sepi sekali." Ayu bergumam sembari membuka mobil.
Oleh terlalu kuat gejolak di perut, Ayu muntah dalam posisi terduduk. Dia tidak biasa melintasi jalan berkelok-kelok. Bukan ingin pamer bahwa dirinya merupakan gadis kota, sungguh sepanjang hidup belum pernah berkelana meninggalkan tempat kelahiran sekaligus tempat tinggalnya.
"Ambil!"
Sejenak Ayu terpaku. Tidak disangka Adi datang menawarkan saputangan.
"Tidak usah. Nanti kotor."
"Memang untuk kotor. Bisa dicuci."
Tidak menginginkan hadirnya perdebatan, Ayu menerima selampai tipis tersebut. "Terima kasih. Begitu sampai di tujuan langsung aku cuci."
Adi ikut terduduk di sebelah Ayu, tatapannya terbuang pada hamparan pohon sawit.
"Saya lupa kamu hamil."
"Kalau ingat, kamu akan menjeda keberangkatan ini?"
"Jangan sok tau. Saya lupa karena bukan ayahnya."
Adi mendengus sebal lekas kembali ke mobil, sementara Ayu didera bingung mengikuti suaminya.
Usai itu, keduanya kembali diselimuti senyap. Hanya deruan mobil menemani perjalanan. Sepanjang puluhan kilometer merupakan hamparan pepohonan sawit, berganti pada pepohonan karet, sebentar melewati kota kecil, selanjutnya bertemu perkebunan luas. Kebun nenas namanya.
Indra penglihatan Ayu dimanjakan taburan ribuan pokok nenas dengan buahnya yang hijau dan kuning, ditambah juga petani seperti sedang panen secara bergotong-royong. Mobil Adi berhenti tak jauh dari perempatan jalan setapak, tempat para petani mengumpulkan hasil panennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Jodoh Paksa Rela
RomanceAyu dan Yudistira seharusnya menjadi pasangan paling bahagia jika tragedi itu tidak terjadi. Namun, siapa yang bisa menolak fakta? Pernikahan yang ditentang pada awalnya membuat Yudistira berbohong, menyatakan bahwa Ayu sedang mengandung. Nahasnya...