Semenjak Eirlys Demetria bekerja di Istana sebagai seorang pelayan, ia selalu dibuat penasaran dengan wajah sang pangeran yang seringkali diperbincangkan oleh seluruh orang-orang di Istana.
Banyak yang mengatakan bahwa pangeran Korvin memiliki waj...
Mata merah itu menatap lurus ke depan. Mengawasi pergerakan seekor rusa dalam diam. Seandainya sekali saja ia membuat suara, yakin hewan buruannya akan berlari terbirit-birit.
Kala itu telah sore. Banyak pekerjaan telah Aldric tuntaskan sedikit demi sedikit. Berburu merupakan hiburan baginya tanpa interaksi dengan manusia lain. Bukan ia tak suka bercengkrama, akan tetapi ia hanya tak ingin membuat kesalahan dengan tangannya.
Telunjuknya menarik pelatuk, suara senapan angin terdengar nyaring. Peluru besi yang cukup besar berhasil mengenai kepala rusa malang itu. Ketika rusa terjatuh, Aldric mendekat dan memeriksa. Kucuran darah mengalir dari lobang hasil masuknya peluru. Aldric menunggu hingga rusa tersebut perlahan tak berkutik dan mati.
Aldric mengambil karung yang dilipat rapi dari saku celana. Rusa buruannya tak begitu besar, karena memang ia mencari rusa kecil agar mudah dibawa seorang diri. Ia melangkah untuk kembali pulang usai mengangkat hewan buruannya di bahu kanan. Senapan miliknya hanya digenggam dengan satu tangan.
Keluar dari bagian dalam hutan, Aldric melangkah di jalan setapak yang kerap kali dilalui ketika selesai berburu. Terkadang ia melakukannya dengan Benjamin atau Edwin. Akan tetapi, kini kedua orang itu memiliki kesibukkan masing-masing. Tentu atas titah Aldric sendiri.
Kedatangan Aldric disambut oleh wajah panik Lissa. Wanita tua itu menghampiri Aldric yang baru tiba di depan pintu. "Mohon maaf Yang Mulia, hal buruk sedang terjadi. Edwin datang lebih cepat dari yang seharusnya," ucap Lissa usai menundukkan kepala.
Raut muka Aldric masih biasa, datar, tak memahami dengan hal yang Lissa sampaikan. "Dimana dia?"
"Sedang beristirahat Yang Mulia. Akan saya panggilkan," balas Lissa tergesa-gesa.
Aldric mengangguk sekali. "Suruh ke ruang kerja ku!"
"Baik, Yang Mulia."
Lissa berlalu, sementara Aldric meletakkan hasil buruannya di dapur. Ia beranjak menuju ruang kerja dalam keadaan tubuh berkeringat serta pakaian kusut. Tak mungkin bagi Aldric membersihkan diri, sementara sesuatu mendesak telah menanti.
Pintu diketuk dan Aldric mempersilahkan masuk. Edwin muncul dengan wajah datar, akan tetapi tak mampu menutupi bahwa terdapat kegetiran di sana. Mereka kerap kali bersama, sedikit perubahan sangat mudah Aldric sadari.
"Salam hormat, Yang Mulia," sapa Edwin seraya mengagungkan sang Pangeran.
"Apa yang sedang terjadi, Edwin? Sekarang bukan waktunya untuk mu kembali dari Aldness."
Seperti sedia kala, Edwin selalu ditugaskan untuk mengawasi kinerja penduduk di Aldnes, terutama para pengrajin keramik. Tugas yang selalu dijalankan selama seminggu dua kali. Aldric tak datang ke kota tersebut karena mengurusi beberapa surat perjanjian serta kerja sama untuk menyalurkan kerajinan atau hasil alam kota Aldness.
"Pihak istana telah menemukan dua rumah produksi keramik kita. Warga Aldness diancam untuk mengaku, jika tidak maka kepala mereka akan dipenggal di depan gedung walikota. Mereka menyebutkan nama anda, Yang Mulia. Sekarang Tuan Albert dibawa oleh pihak istana."
Albert merupakan wati kota, orang yang selama ini menjadi rekan Aldric dalam mengurusi Aldness.
Telinga Aldric panas mendengar informasi tersebut. Aldric menghela nafas dalam-dalam, mencoba menahan amarah yang perlahan memuncak. Terdapat lima rumah produksi yang telah dikembangkan, hanya tiga yang belum diketahui pihak istana. "Kau tahu apa yang akan pihak istana lakukan?"
"Mereka akan kemari. Akan tetapi, hamba tidak tahu apa tujuannya, Yang Mulia."
Firasat Aldric tak nyaman. Ia membayangkan bahwa hal buruk akan segera terjadi. Sang Raja Oleander terkenal kejam serta tak pandang bulu. Tak peduli dengan siapa yang akan disingkirkan, apalagi sampai terjadi sebuah kecurangan yang dirasa merugikan istana. Aldric sangat yakin, mereka akan merebut apa yang telah ia bangun. Yang terburuk adalah sang Raja memiliki alasan untuk membunuhnya.
Jarak dari Aldness dan rumahnya tak begitu jauh. Ia menatap Edwin yang tertunduk, seolah menunggu perintah darinya.
"Bawa Lissa dan yang lain pergi ke Naturaleza Verde! Temui Yhamada dan tinggallah di paviliun untuk sementara waktu!"
Naturaleza Verde merupakan daerah terpencil di luar dari kawasan Oleander. Tak memiliki negara, namun memiliki daratan cukup luas. Daerah yang dipimpin oleh seorang kepala suku, rekan kerja sama Aldric dalam bisnis keramik. Di Naturaleza Verde, Aldric membangun sebuah pavilun. Ia terlalu sering ke sana untuk berbisnis, hubungan baik bersama Yhamada memudahkan persetujuan untuk membeli sedikit tanah.
Kepala Edwin terangkat. "Bagaimana dengan anda, Yang Mulia?"
"Aku akan menemui Benjamin dan Eirlys di Aldness."
Wajah Edwin berubah khawatir. "Bukankah terlalu berisiko, Yang Mulia?"
Tatapan Aldric menjadi lebih dalam. Ia tahu terlalu riskan, namun ia tak ingin membahayakan para pengabdinya.
"Aku akan menyusul kalian setelah itu. Kau tahu mereka pun dalam bahaya," tegas Aldric. "Cepat berkemas! Bawa semua berkas penting! Rumah ini akan segera ku hanguskan."
"Baik, Yang Mulia." Edwin menuruti dengan jantung berdebar. Jika dibolehkan ia ingin menemani sang Pangeran, akan tetapi tak mungkin. Saat Aldric memutuskan sesuatu maka tak mudah digugah.
Semua orang bergerak cepat. Aldric bahkan telah menyiapkan sedikit lembaran pakaian miliknya. Membawa senapan, peluru, serta belati yang dimasukkan ke dalam sepatu. Pria itu menelisik intens pada wajah orang-orang yang bekerja untuknya di rumah ini. Tepat di depannya ada sekitar tiga belas orang yang menunduk, menunggu arahan.
"Aku telah mengatakan titahku pada Edwin. Pergi ke Naturaleza Verde secara diam-diam!" Sebuah gulungan kertas diangsurkan pada Edwin. Aldric sempat menuliskan sedikit pesan untuk disampaikan pada Ketua Suku Verde ketika mereka sibuk mengurus keberangkatan. "Serahkan surat itu pada Yhamada!"
"Baik, Yang Mulia."
Edwin dan yang lain pergi dengan beberapa kuda dan dua kereta kuda. Berangkat dengan perasaan khawatir amat besar kepada sang Pangeran. Akan tetapi, mereka berupaya untuk percaya, Pangeran Korvin pasti memiliki siasat yang telah dipikirkan dengan matang walau dalam keadaan mendesak.
Aldric berbalik, memasuki rumah lalu mengambil barang-barang miliknya. Kakinya melangkah cepat ke gudang penyimpanan, mengambil tiga jeriken berisikan minyak tanah. Seluruh isi jeriken itu telah membasahi beberapa sudut ruangan.
Dada Aldric naik turun, menarik napas rakus karena bergerak cepat, matanya menelisik untuk sesaat. Tanpa pikir panjang menyalakan pemantik api, kemudian menjatuhkan benda itu ke lantai yang berlumur minyak.
Langkah lebar Aldric membawanya keluar. Ia memasang kaos tangan berbahan kulit dengan cepat, lalu menaiki kuda dengan tergesa. Menarik tali kekang agar kuda segera melaju. Di balik punggungnya, api mulai menyebar. Udara sore yang tak tenang memudahkan nyala api, membakar secara perlahan rumah dan seisinya.
Aldric menyadari konsekuensi meninggalkan bukti di belakang. Membakar rumah itu adalah pengorbanan yang diperlukan untuk melindungi rakyatnya dan rencananya. Api menari-nari di embusan angin senja saat dia melaju menuju Aldness, beban tanggung jawab yang berat di pundaknya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.