02. Tiga Pencuri Mangga

30 7 0
                                    


Janlup voment, yaa.

JANGAN JADI SILENT READERS YA GES, HARGAI AKU YANG UDAH SUSAH PAYAH MIKIR DAN NGETIK.

THANKS!!

{}{}{}{}{}{}{}

"Tuh,"

Aku menoleh kearah belakang.

Manik mata ku lantas menangkap seorang gadis ber-hoodie hitam dengan rambut sebahu yang tergerai, berdiri di ambang pintu. Tersenyum canggung. Mencoba ramah, mungkin. Lantas dirinya melambai kecil.

"Sini masuk, jangan malu-malu." Elenita balas melambai. Berseru ramah.

Elenita berdiri, dan menarik lengan orang itu masuk ke dalam. Menyuruhnya untuk duduk. Orang itu mengangguk saja, menuruti. Merasa enggan ataupun merasa perlu untuk mengatakan ya atau tidak.

Aku menelan ludah gugup.

"Kalian mau cokelat panas, gak? Gue baru dapet tadi, di kasih penghuni sebelah. Itu loh, yang suka kentut sembarangan. Mau? Oke!"

Elenita balik kanan, dan tanpa merasa perlu menunggu jawaban kami berdua, ia dengan santai sudah melangkah keluar dari ruangan kecil ini.

Aku kembali menelan ludah. Mengumpulkan keberanian untuk mengajak bicara orang itu.

"Erghh... Siapa-- Alisha. Na-nama gue Alisha Abhinanda." Aku menjulurkan tangan. Mengajak berkenalan.

Gadis itu menatapku. Menyibak rambut, lalu menyebut nama. Zhafsa Abrina Tanaya. Nama yang indah, pikirku. Orang itu ikut menjulurkan tangannya. Kami berdua tersenyum.

Kami mulai bercakap-cakap ringan. Mengusir kecanggungan. Dan tiba-tiba saja, obrolan kami menjadi seperti arus. Mengalir kemana-mana. Aku merasa nyaman dengan percakapan yang sebenarnya tak penting-penting amat. Zhafsa, mengaku pindah dari kota lain. Hanya tinggal berdua dengan kakak laki-laki nya, dan bla bla bla.

Beberapa menit kemudian, Elenita muncul dari balik pintu. Membawa tiga gelas besar berisi susu cokelat panas yang lezat. Mengepul. Harum semerbak. Menggiurkan. Kami menerima gelas yang terjulur.

"Wah-wah, cepet banget akrabnya." Elenita menggoda. Kami hanya tersenyum.

Lalu, obrolan kembali berjalan.

Sore itu, aku mendapat sekaligus dua teman.

                  || ••••••••••{}{}{}••••••••••||

    Setiap lantai asrama H8 memiliki dua petugas pengasuh yang secara bergantian mengawasi. Ke-delapan petugas-petugas itu, di pimpin oleh satu orang, yaitu seorang ibu berusia hampir menginjak usia lima puluh tahun. Tubuhnya gempal dengan wajah garang, benar-benar sangat disiplin.

Kami memanggilnya, ibu Maryam.

Kehidupan di asrama dimulai sekitar pukul setengah lima pagi. Semua penghuni harus bangun, merapikan kamar mereka masing-masing. Setelah itu bergegas melaksanakan shalat subuh berjamaah di musholla dekat asrama.

Aku menguap lebar. Masih sangat mengantuk. Malam pertama di asrama, aku belum terbiasa. Baru tertidur setelah larut malam, sibuk menatap plafon kamar dan rintik hujan yang cukup deras.

Sementara di luar, terdengar suara langkah kaki pengasuh berjalan dengan horor. Memeriksa setiap kamar, untuk memastikan bahwa semua penghuni sudah bangun. Berteriak dan mengangkat belah rotan jika ada yang ketahuan masih bermalas-malasan di kamarnya.

Pukul enam, semua penghuni asrama H8 sudah berada di ruang makan, dengan pakaian rapi dan wangi. Duduk menghadap meja-meja panjang. Ada enam meja panjang yang di penuhi oleh puluhan remaja-remaja tanggung. Saling berbagi tempat duduk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja Di Ufuk Timur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang