1.Awal

2.1K 81 4
                                    

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

Jendral melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah lesu, melempar asal jas hitam miliknya, lalu merebahkan diri di sofa tunggal.

Menghela napas panjang, tangannya sibuk melonggarkan dasi yang terasa mencekik leher. Hari ini cukup melelahkan di kantor-mendengar ocehan kolega dan mengatasi kesalahan yang dibuat karyawan hingga ia harus turun tangan langsung.

"Mas Jen, kenapa?" suara lembut itu menyapa telinga Jendral. Ia menoleh dan mendapati adik tersayangnya berdiri tak jauh dari sofa dengan seragam SMA. Sepertinya anak itu baru saja pulang.

"Mas nggak apa-apa. Pulang sama siapa tadi?"

"Tadi naik taksi yang di pesenin Bang Hafsa." Jendral mengangguk.

"Mas capek banget ya?" Zean mendekat dan mulai memijat lengan kakaknya untuk menghilangkan rasa lelah di tubuh sang kakak pertama.

Jendral tertawa kecil. "Nggak kok. Capeknya Mas langsung hilang kalau udah lihat adek senyum," ujarnya, sambil tersenyum hingga kedua matanya membentuk bulan sabit, mencoba menyembunyikan rasa lelahnya dari si bungsu.

Zean diam. Kepalanya tertunduk. Ia tahu Jendral sedang berbohong. Raut lelah nya terlihat jelas-kantung mata yang menghitam menandakan lelaki itu jarang tidur.

"Maafin aku ya, Mas," ujar Zean lirih.

"Kenapa minta maaf? Adek nggak ada salah apa-apa."

"Mas selalu ngurusin aku daripada kerjaan Mas sendiri. Maaf, gara-gara pen-"

"Ngomong apa sih, Dek? Mas nggak pernah capek kalau cuma buat ngurusin adek. Udah, sekarang pergi mandi. Habis itu istirahat" Zean mengangguk dalam diam. Tanpa Jendral sadari, setetes air mata jatuh dari mata si bungsu.

***

Di kamar,Zean merenung tentang dirinya yang selalu merepotkan semua orang.

Zean terkadang merasa iri pada Hafsa, kakak ketiganya, yang bisa bebas melakukan apa pun asal tahu batasan. Tidak seperti dirinya, yang harus meminta izin untuk hal kecil sekalipun. Bahkan olahraga bersama teman-temannya pun terbatas karena penyakit yang ia derita. Lelah sedikit saja, napasnya langsung sesak.

Ia sering merasa sedih melihat kakak-kakaknya kelelahan karenanya. Seperti dua minggu lalu, saat ia terserang demam tinggi. Ketiga saudaranya begitu panik. Ia masih ingat bagaimana Jendral, yang baru pulang dari Bandung, langsung mengurusnya. Bagaimana Reyhan pulang tergesa tanpa memikirkan perut yang kosong. Atau Hafsa yang begadang menjaganya meski lelah usai turnamen basket.

Four Brothers (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang