Boneka Partai ?

5 1 1
                                    

Konon katanya kampus merupakan miniature sebuah Negara. Kita mampu melihat bagaimana system politik dijalankan ? bagaimana sebuah partai mengambil peran ? bagaimana rekayasa kampus dilaksanakan ? dan bagaimana pemetaan kekuasaan dibalik pemilu yang dijalankan ? kau bisa membacanya di dunia akademisi.

Jemari tengah mulai menyapa selendang merah, mengandengnya dalam gemulai lentiknya gerak nan terpadu. Aku tersenyum, memandang postur indah ragaku yang terbalut aksesoris tari. Kepalaku panas dan berat, terbalut aksesoris semacam mahkota dan teman-temannya. Kakiku masih terjinjit pada lantai, posisi kedua tangan terbentang masih terlenggak-lenggok linier dengan ketukan instrumen yang kuputar di kepalaku. Sekejap lembut, aku memejamkan mata mentadaburi alurnya. Seperti halnya kala aku mentadaburi kalam Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, gerakan berubah bagai kilat beradu dan semua itu, masih tertata alurnya dalam tadaburku.

Imajinasi itu pecah bersama suara parau nan brisik datang hadirkan gaduh di padepokan teater. Seseorang berlari memasuki lobi tari dan terjatuh di ruanganku, tepat disamping kaki kiriku yang baru saja berdiri dengan sempurna. "I'm failed !" serapahnya sambil merebahkan diri di sofa.

Aku tersenyum iba, lagi-lagi dia “Aku baru saja melakukan investigasi mengenai dana gelap yang dimanipulasi, tapi saat liputan tiba aku bahkan tak menemukan keganjalan seperti apa yangku opinikan sejak awal.” Rancunya.

Aku melanjutkan tarianku. Mengibas problematika dengan tangan yang bersahaja. “Sampai kapan kau akan terus kontra terhadap staf akademisi ?”

“Sampai semua dugaanku terbukti dan semua mafia system menghentikan kecurangannya dalam komperialisme pendidikan.”

“Kau terlalu idealis, Aryan. Coba alihkan fokusmu pada semua benefit yang kampus ini berikan pada kita, bukan pada hal-hal yang masih rancau kejelasannya. Buka matamu, tak semua system seburuk spekulasimu. Para stack holder kampus pasti sudah sehati-hati mungkin dalam mengkalkulasi anggaran, dan itu bukan hanya dalam sekali hitungan, bukan juga dalam sekali perumusan. Mereka mempertimbangkan banyak hal, termasuk kausalitas dari segi sosiologis yang nantinya akan mereka hadapi.”

Aku melihat sorot mata kebencian terbang ke arahku. Mata seseorang yang sangat kukagumi bahkan ketika menyelidik penuh kritik. “kau terlalu realistis, Ayu.” Tawanya terdengar sangat meremehkan. “mungkin aku perlu memperkenalkanmu pada actor intelektual yang kini sedang berperan menjadi boneka dari system.” Aryan menghidupkan rokoknya.

 “Akan ku dengar lagi rancauanmu nanti, setelah aku selesai dengan yang satu ini.” Aku meninggalkanya sendiri, sepuluh menit lagi giliranku tampil pada event bergengsi malam ini.

***

Semua lampu padam, sisakan senyap dalam ruang. Sedetik kemudian instrumen naik turun dimainkan, memberi kesan suasana yang berkelas nan menegangkan. Ilusikan hal ini bagaikan bayangan konser album Alfy Rev dengan sound yang memacu axcaited para pemuda bangsa.

Aku melangkah pelan, penuh penghayatan, sebelum pada menit selanjutnya lebih cepat bagai langkah catwalk model yang menuju auditorium. Bedanya terletak pada atap yang terbuka, sehingga bintang dapat menyaksikan showku malam ini.

Ramai sorak dan gaduh suara tepuk tangan tak membuat keringat panas dingin terpacu keluar. Rahangku tetap tegak tanpa gusar. Sorot lampu yang sendari tadi menyorot ke arahku, kini berlari ke segala arah. Instrumen semakin kilat membawa para penari-penari lain memasuki auditorium. Kami mengekspresikan rasa, lewat jemari yang serentak menari, lewat kibasan selendang yang melayang bagai merpati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sarjana BicaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang