Lucea memandang pantulan dirinya di depan cermin. Seragam sekolah sudah terpasang rapi pada tubuhnya, rambutnya yang sedikit bergelombang dibiarkan terurai dengan bando biru laut diatasnya.
Hari ini Lucea berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk pergi ke sekolah setelah seminggu ia tidak absen. Seminggu yang lalu, ia menjadi bahan perundungan di kelasnya. Lucea sendiri tidak mengerti kenapa ada beberapa foto tak senonoh di papan mading yang pada bagian wajah perempuannya adalah wajahnya sendiri. Padahal itu sama sekali bukan Lucea. Bahkan ia saja tidak pernah melakukan perbuatan menjijikkan itu.
Yang semulanya Lucea mempunyai banyak teman, tetapi karena desas-desus foto itu Lucea jadi kehilangan banyak teman. Bahkan Karin dan Molen yang sangat dekat dengannya pun tidak percaya kepadanya, parahnya lagi mereka ikut-ikutan merundunginya.
Lucea tertawa miris mengingat hal itu. Sekarang ia rasanya tidak mempunyai teman. Namun, Lucea teringat satu hal. Masih ada satu teman sekelasnya yang sepertinya masih perduli dengannya. Bahkan kala desas-desus foto yang memfitnah dirinya, orang itu menolongnya dari beberapa siswa-siswi yang sedang merundunginya.
Dia adalah Gevan. Laki-laki yang mengantarnya pulang sekaligus mengobati luka lebam yang ada pada pipinya akibat tamparan dari salah satu orang yang merundunginya kala itu.
Pernah juga, Gevan mendatangi rumahnya beberapa hari yang lalu untuk mengantarkan buku paket Fisika miliknya yang baru saja dibagikan oleh Arfan-si ketua kelas. Gevan yang statusnya menjadi wakil ketua kelas, diperintahkan untuk mengantarkan bukunya kepada Lucea. Tak hanya mengantarkan buku, Gevan juga sampai membawakannya es buah dan bolu ketan hitam kesukaannya.
"Dengar-dengar, ini kue kesukaan lo kan?" tanyanya kala itu.
Awalnya Lucea merasa heran, karena sebelumnya ia dan Gevan jarang sekali berinteraksi. Walaupun begitu, Lucea tetap bersyukur karena masih ada orang baik yang perduli kepadanya.
Saat ini Lucea sudah berdiri di depan gerbang sekolahnya setelah berangkat menggunakan bus umum. Menghela napas dengan jantung berdegup tak karuan, ia memberanikan diri berjalan masuk ke dalam.
"Bim, bukannya itu mantan lo?" tanya Molen memastikan kalau yang dilihatnya tidak salah. "Masih berani banget dia nginjek kaki di sekolah ini!"
Lucea yang sedang berjalan menyusuri koridor, sempat terpaku melihat kebersamaan Bimo dan Molen. Bahkan secara terang-terangan Molen merangkul lengan laki-laki itu yang statusnya sekarang adalah mantannya.
"Hai, Cea! Gue kira lo pindah." Sarkas Molen. "Urat malu lo udah putus ya?"
Mengabaikan perkataan Molen, Lucea beralih menatap Bimo yang tampak cuek. "Bimo? Bisa kita ngomong bentar?"
Lucea berniat untuk membujuk dan memberi penjelasan kepada Bimo terkait desas-desus foto di papan mading kala itu. Namun tiba-tiba saja perkataan Molen membuatnya terdiam kaku. "Nggak bisa, pacar gue nggak ada waktu buat ngomong sama lo!"
"Pacar?" beo Lucea menatap Bimo dan Molen secara bergantian. Ini pasti bohong kan? pikirnya.
Bimo sendiri tampaknya tidak ingin memberi penjelasan. Laki-laki itu tetap cuek, bahkan sibuk memainkan ponselnya tanpa berniat untuk menatap Lucea sedikitpun.
"Sayang, mending kita ke kantin yuk! Gue laper belum sarapan," ucap Molen bergelayut manja di lengan atas laki-laki itu.
"Ok,"
Lucea menatap tidak percaya sesaat setelah Molen membawa Bimo pergi. Bahkan parahnya lagi Bimo sampai merangkul Molen yang pernah menjadi teman dekatnya sendiri. Lucea tersenyum miris, ia benar-benar merasa dikhianati oleh dua orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cea's Mine || √
Teen FictionCea adalah miliknya. ***** (Cerita dibuat pada tanggal 29-02-24)