Indri merasakan pandangannya kabur. Ia mencoba mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Apa yang terlihat di matanya perlahan menghilang. Suara-suara yang sebelumnya terdengar nyaring di telinganya perlahan menyusut dan lantas lenyap. Tubuhnya limbung. Dan ia jatuh tak sadarkan diri ke lantai.
Suara di ujung telepon mencoba memanggilnya. Panggilan dari rumah sakit yang mengabarkan berita duka. Tapi panggilan itu tak selesai.
Ina, tetangganya yang datang ke rumahnya tak lewat dari 5 menit berselang, menemukan Indri yang pingsan. Dengan sigap Ina, seorang perawat terlatih itu, melakukan pertolongan pertama. Ia meletakkan kepala Indri lebih tinggi dari keseluruhan tubuhnya, dihitungnya detak nadinya dan setelah meyakinkan diri bahwa Ina hanya pingsan sesaat, ia bergegas ke dapur mengambil segelas air putih hangat.
Terdengar suara ambulans dari jauh memasuki kompleks perumahan Bumi Persada Indah. Suaranya yang nyaring melengking-lengking tentu saja membuat rasa ingin tahu para tetangga yang bergegas menuju ke halaman rumah atau sekedar mengintip dari jendela. Ina yang sudah membaringkan Indri di kamarnya lantas menuju pintu ruang tamu dan menerima dua orang petugas rumah sakit. Diarahkannya kedua pemuda itu untuk membawa jenazah Arung ke ruang tamu. Para tetangga mulai berdatangan membantu menyingkirkan kursi-kursi dan meja di ruang tahu. Mereka juga mulai berdatangan tanpa diminta membawa tenda dan kursi-kursi plastik dari mesjid yang tak jauh dari rumah yang dihuni keluarga itu.
Indri tersadar dari pingsannya dan mendapati kenyataan yang sama sekali tak pernah dibayangkannya sekalipun. Bahwa putra mereka satu-satunya telah pergi mendahului ia dan suaminya. Arung, si anak baik yang tak pernah sekalipun menyusahkan orangtuanya itu, telah berpulang. Ina mengangsurkan air putih yang masih hangat ke mulut Indri yang direguknya perlahan.
"Mana Arung?"
Indri mencoba sekuat tenaga berusaha tabah. Ina berusaha menyabarkan hatinya. Ia memberi tahu Indri pelan-pelan bahwa jenazah Arung sudah tiba dan disemayamkan di ruang tamu. Mata Indri menatap nanar ke sekujur kamarnya. Sudut matanya menangkap foto mereka bertiga di Pantai Losari, Makassar, saat Arung masih berusia 5 tahun. Ina melihat arah pandang Indri, mengambil foto itu dan memberikannya pada Indri.
"Arung ganteng ya. Dari kecil ia memang sudah segagah ayahnya."
Indri mengusap-usap foto itu. Dari sudut matanya mengalir setitik demi setitik air mata yang lantas membanjir seperti sungai. Indri membiarkan dirinya dihantam emosi yang tak bisa lagi dikendalikannya. Dan sekali lagi ia merasakan tubuhnya limbung.
Kini ia berada di sebuah sore di kawasan yang dijuluki restoran terpanjang di dunia itu. Dibiarkannya Arung mencicipi pisang epek yang baru pertama kali dirasakannya. Cairan gula merah yang encer berceceran di sekitar mulut, dagu dan pipi Arung yang montok dan putih yang membuatnya justru semakin menggemaskan. Arung yang dilatih mandiri sejak kecil oleh orangtuanya mencoba menghabiskan sepotong pisang epek yang seperti terlihat nikmat sekali di mulutnya. Meski terlihat kesulitan, ia mencoba memotong kecil-kecil pisang bakar itu dengan garpu di tangan kanannya. Dan setelahnya ia menyantapnya seakan tak ingin berbagi kebahagiaan itu dengan siapapun, bahkan dengan ibunya sekalipun. Indri terkekeh melihatnya dan menyuruhnya makan pelan-pelan.
Indri sendiri menikmati nasi goreng merah yang sudah lama tak dicicipinya. Makanan apapun mungkin terasa enak saat menyantapnya di tepi pantai Losari. Ia mencicipi sesendok demi sesendok nasi yang digoreng dengan lombok botol. Telur dadar yang sudah diiris tipis-tipis dan irisan-irisan ayam juga dilahapnya.
Indri melihat Arung sudah menghabiskan pisang epeknya dan kini meminum air putih yang dituangkan dalam gelas plastik kecil. Saat Indri mencoba menyeka bibir Arung yang belepotan, anak itu menepis tangan ibunya dan mengambil sendiri tisu di hadapannya dan mencoba melakukannya sendiri.
"Arung senang di Makassar? Arung mau tinggal di sini nggak?
Arung mengangguk. Meski masih menyisakan sisa-sisa cairan gula merah di sekitar bibirnya, wajahnya sudah terlihat lebih bersih.
"Asal bisa main ke Taman Ria tiap hari. Biar bisa main boom-boom car di sana."
Indri terkekeh. Arung juga ikut tertawa melihat ibunya.
Indri terbangun dari pingsannya. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur dan menuju ruang tamu. Dari pintu kamar ia melihat bendera kuning sudah terpasang di pagar rumahnya. Tenda sudah terpasang, begitu juga dengan kursi-kursi plastik. Tamu-tamu mulai berdatangan.
Sebuah mobil mendekat dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dari jarak sekitar 500 meter, perasaan Wahyu tak karuan melihat bendera kuning yang sudah terpasang di pagar rumahnya itu. Ia mencoba menenangkan perasaannya yang terus bergemuruh dengan dada yang seakan bisa meledak kapan saja. Tapi ia tahu bahwa ia harus bisa mengendalikan diri di depan istri dan para tamu. Ia tak ingin membuat istrinya semakin sedih.
Wahyu berjalan gontai ke luar dari mobil. Kedua kakinya seakan tak menginjak tanah dan tubuhnya seperti kehilangan tenaga seketika. Ia mencoba menyeret tubuhnya dengan pelan memasuki halaman rumahnya.
Kini dilihatnya jenazah Arung yang sudah disemayamkan di ruang tamu. Dengan foto berukuran besar yang berada di sampingnya. Wahyu terus mencoba mengendalikan dirinya sekuat tenaga.
Begitu melihat Wahyu datang, Indri langsung menghambur ke pelukannya. Keduanya berpelukan sangat erat. Wahyu merasakan matanya basah dan membanjir. Keduanya menangis dalam diam dan para tamu ikut menangis melihat bagaimana keduanya mencoba menangani musibah yang tak pernah terbayangkan ini.
Di dekat bendera kuning di pagar rumah Arung, Mala melihat adegan itu dan juga tak bisa menahan tangisnya. Mereka semua kehilangan orang yang mereka sayangi, seseorang yang selalu berusaha menyenangkan hati mereka dan berusaha betul tak pernah menyusahkan mereka.
Arung telah melarung bersama kenangan. Arung telah pergi mengarungi babak baru kehidupan selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARI KE-40
General FictionDemonstrasi mahasiswa di tahun 1998 membuat Wahyu dan Indri kehilangan anak pertama mereka. Dua puluh tahun berselang, putra semata wayang mereka, Ilham, juga tampil sebagai mahasiswa demonstran. Hal ini membuat Wahyu dan Indri terus menerus mengkha...