Jaemin

26 1 0
                                    

POTENT

Jaemin tidak berekspetasi menemukan sosok Haechan di balik pintu rumahnya alih-alih Jeno. Pria itu mengenakan kaos lengan pendek berwarna hitam dengan celana training abu-abu. Jaemin, dalam balutan mantel, langsung merasakan kulitnya meremang membayangkan sensasi dingin menusuk dari angin malam di musim gugur. Namun, Haechan berdiri di sana, tersenyum seolah dia tinggal di negara tropis dan langit menyembunyikan bulan.

Gerak tangan Jaemin untuk melepas mantel terhenti. “Aku yakin aku menghubungi Jeno, bukan saudaranya.”

“Oh, ayolah,” Haechan terdengar riang sekaligus mencela. Pria itu berkacak pinggang, membiarkan angin mengusak kulit pada lubang pakaian di lengan. Jari Jaemin tersengat.

“Haechan, kau sungguh tidak kedinginan? Kau hanya—-”

“Lantas mengapa kau berdiam diri seperti orang dungu dan tidak membiarkanku masuk?”

Alis Jaemin langsung menukik tajam. Pertama, dia tidak suka seseorang memotong perkataannya. Kedua, Haechan berkata benar dan dia tidak memiliki bantahan akan hal tersebut. Demikian pria itu mengerang lalu menyingkirkan tubuh untuk memberi ruang. Haechan pun melangkah masuk sembari menyikut sisi pinggangnya.

Sekadar informasi, Jaemin jauh lebih mengenal Haechan ketimbang Jeno. Haechan adalah sosok yang ia kenal semasa sekolah tingkat dasar, pertama, akhir. Haechan sangat populer, baik di kalangan guru dan anak-anak. Orang-orang bilang, dia merepresentasikan magnet karena memikat setiap hal di sekitarnya, bahkan seekor hewan sekalipun. Jaemin ingat dulu, ketika kucing kepala sekolah tidak ingin turun dari atas pohon, Haechan bisa membuat hewan berbulu itu melompat anggun hanya untuk hadir di dekap lengannya. Semua orang mengelukan keberadaan pria dengan warna rambut alami cokelat tua tersebut dalam kasih. Haechan merupakan presiden teman.

Namun, mereka tidak berteman. 

Jaemin tidak tertarik dengan framing, sebab di matanya, Haechan terlihat abu-abu daripada kuning. Pria itu tidak menunjukkan aura keceriaan sama sekali. Haechan mungkin selalu mengumbar senyum dan memborong keusilan anak remaja yang menyenangkan. Sayangnya, Jaemin tidak merasakannya sampai ke hati. Ada sesuatu yang berkeladak setiap kali mata mereka bertemu. Jaemin ingin menambah air sementara dirinya tenggelam. Haechan mungkin tidak menyadarinya.

Mungkin.

Kemudian Jeno muncul seperti sebuah bunga matahari yang sesungguhnya. Meski kala itu, Jaemin hampir ingin menggigit seseorang karena mengetahui bahwa Jeno adalah saudara kandung Haechan. Bisa-bisanya.

“Wow, kau memiliki rumah yang berwarna-warni, Na.”

Itu tidak terdengar seperti pujian di telinga Jaemin.

“Di mana Jeno? Kenapa malah kau yang muncul?” Jaemin memilih berterus terang ketika melihat Haechan duduk di sofa favoritnya, terlihat nyaman dan normal.

Rasanya aneh. Dia tidak pernah merasa sedongkol ini sebelumnya.

Haechan tidak mengatakan apa pun. Akan tetapi, sorotnya menyuarakan sesuatu, seperti kelinci di perayaan Paskah, seperti bunga yang merekah mekar. Jaemin membiarkan keheningan menjadi perantara tatkala kepalanya sibuk mencari jawaban. Ampas dalam bola mata berwarna senada surai itu, tiba-tiba lenyap. Haechan pun berdiri.

“Kau tahu alasannya, Na.” Racun. Racun. Racun.

Jaemin terpaku oleh langkah si pria yang mendekat. “Jeno juga tahu alasannya. Itulah mengapa aku berada di sini.”

Haechan mengangkat kedua bahunya. Tangannya muncul dari balik punggung. Terkepal dan bergetar.

“Seharusnya kau berada di bilik pengakuan dosa saat Ayahku menyampaikan khotbah.”

“Kita. Seharusnya kita yang berada di bilik pengakuan dosa. Siapa pun pastornya.”

•••

HOWLING - NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang