Happy reading...૮꒰ ྀི >⸝⸝⸝< ྀི꒱ა
Pada notasi yang merujuk pada angka sembilan pagi, pendar mentari yang sibuk menghiasi pusat alam semesta, juga dengan tiupan angin yang meluruhkan dedaunan.
Di dalam ruang yang bersekat dengan nuansa sederhana. Aku berbenah diri, sudah waktunya pergi mandi, tak lupa untuk mengikat suraiku yang sebatas punggung dengan tali rambut berwarna jingga.
Selang beberapa menit, aku sudah siap dengan balutan kaos merah muda juga celana katun hitam yang melekat pada daksaku.
Pagi ini akan lebih menyenangkan jika lukisanku rampung. Sudah lama aku tak memegang benda yang terbuat dari kayu kecil dengan bulu halus di salah satu ujungnya itu,
... Bahkan hanya ada sketsa dari pensil yang aku buat Minggu lalu,
Ohhh... nyatanya sesibuk itu diriku.
Di bawah tempat meja belajar, ku ambil sebuah box kecil, tempat di mana aku menaruh berbagai jenis pewarna untuk memoles kanvas putih ukuran 40 × 40 cm yang bertengger pada stand kayu.
Aku mengambil beberapa pewarna yang ku butuhkan mulai dari yang sangat gelap sampai yang paling terang, ku letakkan pada lempengan berbentuk perisai yang memiliki beberapa lubang kecil sebagai tempat pewarna dicampurkan.
Dengan lihai hastaku memoles berbagai warna dan nuansa gradasi warna pada kertas kasar berwarna putih itu. Mengikuti arah sketsa yang telah aku buat sebelumnya. Laiknya seorang manusia yang percaya dengan alur hidup yang sudah di atur oleh Tuhan, butuh proses dan indah jika itu takdirnya.
Pernah suatu hari, kala itu mentari pulang, kehadirannya digantikan oleh sang rembulan. Meski langit tak sebenderang saat bersama mentari, ia tetap menawan dengan rembulan bahkan bintang-bintang yang berkelap-kelip turut menemaninya. Gelap memang, suasana menjadi sendu senyap, angin yang terasa jauh lebih dingin memeluk raga yang tak berdaya.
"Hidup itu diibaratkan percampuran warna. Kamu bebas mau mencampurkan warna apa saja di dalamnya. Warna yang nggak harus sama dengan orang lain, dan kalau nggak sama bukan berarti warna yang kamu pilih itu buruk. Ini cuma tentang selera, karena warna itu sendiri adalah seni," katanya, ia bersandar sambil menengadahkan netra. Menatap rembulan yang bercahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti.
"Cara hidup, cara berpikir, berpandangan, dan pendapat orang lain juga diibaratkan warna, kalau kamu suka, kamu bisa mengambil warnanya, tapi kalau kamu nggak suka cukup hargai warna itu. Jangan menjatuhkan warna orang lain hanya karena warnanya nggak sesuai sama kamu, nanti juga suatu saat kamu akan bertemu warna yang pas yang bisa saling melengkapi untuk jadi sebuah masterpiece." Ia melanjutkan.
"Kamu tahu maksudnya, Dek?"
Terduduk berdua di teras rumah, dengan sepiring pisang goreng dan juga kopi susu–lebih tepatnya hanya aku, karena Mas Akma— kakak laki-lakiku meminum kopi hitam.
Ah! Ngomong-ngomong, perkenalkan aku Selina Dwi Arrumaisha. Gadis kelahiran Jogja tahun nol lima, yang menyukai novel-novel bergenre romansa.
"Intinya, kita punya hak untuk memilih tapi kita juga nggak boleh lupa untuk tetap menghargai yang bukan pilihan kita, gitukan?"
Ia mengangguk kecil, menatap sepasang iris gelapku, "iya, dek. Semakin dewasa kamu akan semakin tahu,"
"Dewasa itu tentang gimana kita berkomentar tanpa mengurangi rasa hormat. Tentang kita yang bisa lebih menghargai orang lain. Karena kita nggak pernah tahu, kadang hal yang menurut kita biasa aja, mungkin sangat berarti untuk orang lain."
Selalu terbayang akan serumit dan sesusah apa untuk mendapatkan sebuah pengakuan yang layak, namun nyatanya yang ada hanya lontaran menyakitkan dari mereka yang tak pantas disebut dewasa.
Meskipun tahu, baik buruknya ucapan manusia adalah pembelajaran untuk diri sendiri,
Sudah cukup layak atau masih perlu belajar untuk sadar diri?
Karena kita tahu pasti setiap manusia yang ada di bumi memiliki warnanya sendiri, Ceritanya mungkin berbeda, namun makna nya sama.
Perihal datang, singgah, lalu pergi.
Helaan napas terhembus pelan dari ranum ku, menatap nanar karya yang lima menit lalu aku berhasil rampungkan. Aku puas dengan hasilnya, pun dengan makna yang tersirat dalam setiap polesan warnanya pada kertas kasar yang semula putih itu.
"Untuk apa sebetulnya kehidupan ini?"
Monolog ku berhasil teredam, beradu dengan denting jarum jam, dan rintik hujan yang membasahi tanah Jogja.
.
.
T B C
🍮 Bismillah...
Bagian pertama sudah berani aku publikasikan,
Semoga aku bisa merampungkan cerita ini, aamiinOhh ya jika ada kata-kata, tanda baca, dan qoute yang mungkin ngga tepat akan aku rapihkan sesuai kemampuanku yaa
Baca cerita ini kalian bakal dapet banyak pelajaran, tentunya dari berbagai sumber yang pernah aku baca dan ikuti(• ▽ •;)jangan lupa tinggalkan jejak dalam cerita ini sebagai apresiasi untuk penulis (vote n comment)
See yaa!!!!
bait abstrak
(4-10-24)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa dalam Aksaraku
Teen FictionTentang rasa yang harus abadi dalam bait aksara, tentang tempat yang menjadi kenangan, tentang kebahagiaan yang menjadi luka. • • ⊰ ⊹ Story by ©baitabstrak