Those lips
Those hands
Fingertips
Little details that i crave
Strings always pulling me
You blind as old man
Like old times
-octajune🎷
"Kita pernah ketemu, ya?" Aku memiringkan kepalaku dan tersenyum tipis kepadanya. Di bawah lampu bar ini semuanya terlihat remang dan hanya lampu panggung kecil disana yang cukup terang. Lantunan lagu Fly Me To The Moon mulai terdengar, aku melirik ke arah panggung kecil itu dan melihat wanita cantik memakai gaun sebetis berwarna putih gading yang dibalut dengan jaket kulit hitam yang terlihat vintage. Aku kembali memfokuskan fokusku ke lelaki disebelahku.
Lelaki itu masih menatapku, ia tertawa kecil dan langsung menggeleng pelan.
"Wah... mukaku pasaran, ya?" ujung bibirnya terangkat membentu senyuman kecil yang biasa aku bilang menyebalkan namun, yang ini berbeda. Bulan, bulan sabit. Aku pernah melihatnya. "Atau mungkin kita pernah bertemu?" Ucapnya. Suaranya, aku familiar.
Lembut menyihirku seperti menarikku untuk tetap fokus kepadanya. Apakah aneh kalau aku bilang suaranya mirip seperti angin malam yang bertabrakan dengan dedaunan?
Aku menekan bibirku menjadi garis dan menggeleng. "Tidak tahu, aku kan yang bertanya duluan." tatapan mataku tertuju kepada segelas mocktail di depanku.
Dia menjawab, "Kayaknya kita belum pernah bertemu...."
Aku langsung menyambarnya seraya menoleh kepadanya, "Addy."
Dia mengangguk lalu melanjutkan, "Ya, Addy, kita belum pernah bertemu." Dia tersenyum tipis diakhir kalimatnya, "Makanya aku ajak kenalan 'kan tadi." lanjutnya. Aku mengaduk mocktailku dengan sedotan, "Nama kamu siapa?" Aku bertanya.
Di meja bar ini hanya ada aku dan dia. Musih Fly Me to The Moon masih menjadi latar belakang suara obrolan kami. Aku menatapnya dan menaruh kedua tangan di permukaan meja, menunggu jawabannya.
Dia tampak berpikir sebentar, dia menyeringai sedikit dan menatap minumannya lalu menatapku. Ada yang aneh dengan dirinya. Jantungku seperti ada yang menahan untuk berdetak. Kenapa lama sekali untuk menyebutkan nama?
"Aman tidak memberi tahu nama ke stranger?"
Dasar.
"Kamu yang mau kenalan, kan? Aku juga sudah memberi tahu namaku." aku memutar bola mataku. Dasar laki-laki aneh. "Ya, terserah kamu sih." Tambahku akhirnya.
Dia tertawa pelan dan eugh, tawanya itu sangat nyaman didengar. "Aku tidak maksa, totally understand about danger this day. Paham kok." Ucapku dengan sebal. aku menatap ke depan dan berlagak bahwa aku baik-baik saja setelah ditolak oleh orang asing yang tidak jelas.
Untuk apa mengajak kenalan kalau akhirnya tidak jelas seperti ini. Tanganku mengangkat gelas mocktail dan aku minum pelan-pelan. Mataku melirik sepersekian detik kesebelahku. Dia masih menatapku dan aku bersumpah seringai kecil menyebalkan itu masih ada di wajahnya.
Wajahnya tampan, aku akui, dan aku seperti pernah melihatnya. Hidung yang tidak terlalu mancung, ada satu lesung pipit pada pipi kanannya, mata coklatnya pekat seperti kayu jati. Saat aku menatap matanya tadi aku langsung ingat perabotan rumah nenek yang mayoritas terbuat dari kayu jati yang sudah berumur tapi ajaibnya masih kokoh dan berkilau. Poin plus juga, dia memakai kacamata dengan bingkai klasik.
Dia juga memakai kemeja biru yang dibuka kancing teratasnya dan celana jins. Basic, tidak macam-macam. Aku tidak bisa menyimpulkan apapun dari pakaian laki-laki sebenarnya.
"Mahendra, you can call me Mahen."
Strange nickname, pikirku.
Tatapan kami bertemu. Aku tidak ingin ini berakhir, "Kenapa bukan Hendra?" tanyaku iseng. Dia meminum minumannya, tanpa mematahkan tatapannya padaku, "Too basic, i guess?" Dian mengangkat bahunya lalu tertawa kecil lagi. Sepertinya orang ini suka tertawa. Aku tidak menanggapi apa-apa. "Gak ada alasan spesial." dia berkata lagi lalu bertanya, "Kalo Mahen memangnya kenapa?"