Bagian I : Sweet Seventeen?

261 24 5
                                    

Mata bulat itu mengamati dengan lekat sebuah cupcake yang ia taruh di atas meja. Tidak lupa dengan sebuah lilin kue berwarna merah muda yang berdiri begitu kokoh dengan ujung yang sudah dinyalakan. Sekitarnya tampak gelap, karena hal yang ia lakukan memang tepat di tengah malam—saat hari memang berganti dan usianya yang sudah berubah diangka tujuh belas tahun.

Hari ini, ia berulang tahun. Perasaan haru tampak begitu jelas di mata yang berkaca. Walau sendiri, tanpa seseorang yang mengucapkan atau mengingatkan hari bahagianya, Jihyo merasa tidak keberatan. Ia senang karena bisa mencapai usia yang dianggap memasuki fase dewasa. Sekaligus Jihyo senang karena ia bisa melakukan rutinitas seperti biasanya, berdoa sebelum memadamkan lilin itu.

"Selamat ulang tahun Jihyo. Selamat ulang tahun," ucap kedua bibir itu dengan kedua tangan yang bertepuk ringan. Sangat tidak kentara karena tidak ingin membangunkan teman sekamarnya. Jihyo tidak ingin mengacaukan waktu istirahat teman sekamarnya yang terdapat tiga orang.

Alhasil, bergegas ia menyiapkan diri untuk menyelesaikan kegiatannya ini sebelumnya semua sadar jika ia telah merayakan hari dirinya dilahirkan. Entah tanggal hari ini memang benar atau tidak, karena Ibu Panti hanya menuliskan tanggal yang ada di sapu tangan miliknya—seakan itu tanggal lahir Jihyo yang jaraknya tidak begitu jauh saat ia ditinggalkan.

Cukup miris, tetapi takdir Jihyo seperti itu. Ia besar di Panti Asuhan Hakyung dan mendapatkan pendidikan hingga saat ini ia berada dibangku Sekolah Menegah Atas. Bahkan, Jihyo juga berada difase menafkahi dirinya sendiri dengan bekera paruh sepulang sekolah. Dulu, Jihyo berharap setidaknya ada keluarga yang ingin mengadopsi dirinya saat tidak ada tanda-tanda kehadiran kedua orangtuanya—berharap seperti itu, tidak masalah bukan? Hanya saja, semakin waktu terus berlalu, Jihyo kehilangan satu persatu teman yang begitu baik padanya karena mereka yang mendapatkan keluarga yang ingin merawatnya. Dari sana, Jihyo juga ingin mendapatkan hal yang sama, tetapi kembali lagi, seakan tidak ada yang tertarik menjadikannya seorang anak.

Terkadang, Jihyo berpikir, apa ia mendapatkan sebuah kutukan? Dan sedetik kemudian, ia akan menampik hal tersebut. Baginya, secara logika, tidak ada kutukan ataupun sejenisnya, nasib malang dan alur takdir yang diciptakan Tuhan'lah yang langsung mengisi kepala Jihyo. Walau Jihyo tidak bisa bohong kadang kala kepalanya dipenuhi dengan hal-hal yang di luar nalar setelah menyaksikan seluruh seri film Harry Potter, tetapi Jihyo merasa itu hanya ada di dunia fiksi. Tak mungkin ada di dunia nyata.

"Sudahlah, Jihyo. Mari kita menyelesaikan hal ini sebelum teman-temanmu terbangun," ucap Jihyo dengan suara berbisik. Ia juga mewanti-wanti lilinnya akan habis jika ia begitu lama berpikir.

Alhasil, Jihyo kembali fokus pada cupcake yang dibeli sepulang dari bekerja. Kedua tangannya tertaut dengan mata yang terpejam. Aku tahu, kau pasti bosan mendengar permohonanku, tetapi bisakah aku mengetahui atau menemukan sesuatu tentang kedua orangtuaku, Tuhan? Aku sudah tidak punya harapan untuk memiliki keluarga baru, tetapi biarkan aku tahu siapa keluargaku sebenarnya. Kumohon berikan aku petunjuk!

Lantas, kedua mata Jihyo terbuka. Lilinnya masih menyala, tetapi dengan pelan Jihyo mematikan lilin itu dengan meniupnya, membuat lilin tersebut padam dan hanya menyisakan kumpulan asap yang juga perlahan menghilang—menyatu dengan udara.

Kedua sudut bibir Jihyo dibuat semakin tertarik. Ia senang dengan permohonan itu dan berharap permohonan itu bisa terkabul, karena jauh dari dalam lubuknya, Jihyo sangat ingin tahu tentang kedua orangtuanya walau mustahil.

"Tuhan, ayolah, kabulkan kali ini! Aku—" Jihyo tidak lagi melanjutkan perkataannya saat mendapatkan hantaman berupa boneka yang mengenai kepalanya. Dengan perasaan yang berkecamuk, Jihyo menoleh dan mendapati salah seorang temannya yang berada di kasur bagian atas.

SwitchoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang