LAUTAN TANPA HUJAN

TEPI PANTAI

Saya yang tersadar di 2024 melihat betapa mengerikannya lautan. Sebelum kengerian itu tepi pantainya sangat cerah, seolah lautan yang hangat itu bisa bersahabat.

Saya mengais ingatan-ingatan ini dan menemukan permulaannya. Semua ini bermula di 2015, saat saya berusia 13 tahun. Saat itu saya terdaftar di SMP favorit di Makassar, SMPN 5 sekolah yang terletak di tengah kota Makassar, yang berjarak 4 KM dari rumah. Saya sangat senang dapat bersekolah disini. Ibuku yang berprofesi sebagai Notaris, sangat sibuk dan tidak sempat mengantar dan menjemput di sekolah, untungnya jalur sekolah dilalui jalur angkot.

Kegembiraan bersekolah dijenjang yang baru, tidaklah terasa begitu lama. Berita duka pegawai ibuku satu-satunya meninggal. Saat itu, saya mengira berita duka itu hanya akan membekas sesaat seperti berita duka lainnya. Justru berita duka ini mengubah cerita kehidupanku hingga sekarang.

Karena  kehilangan pegawai, akan tetapi banyak pekerjaan yang menumpuk, tidak ada pegawai di kantor ibuku, sedangkan ibuku tidak tahu apa-apa tentang komputer. Sehingga, saya yang masih SMP berusia 13 tahun harus membantu ibu. Memang membantu orang tua merupakan hal yang mulia, akibat pribahasa itu masa depanku semengerikan sekarang.

Dalam hal ini, saya tidak bisa fokus bersekolah, saya harus menjadi pegawai yang paham dalam hal mengerjakan Akta-Akta Notaris. Karena itu, saya sering tidak pergi ke sekolah.

Akibatnya nilai-nilaiku waktu SMP anjlok. Lebih lanjut saya tidaklah seperti teman-teman sebaya, yang bisa menjalankan kehidupan bersekolah dengan baik. Ibuku orang yang rumit dan sulit dipahami. Apakah karena waktu itu saya berusia 13 tahun?

Bahkan dunia sosialku juga ikut rusak, saya tidak memiliki teman sama sekali, tidak punya bakat apapun, apalagi bermain bola. Saya terkurung di rumah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak saya pahami sama sekali.

*Nama orang, nama tempat, dan waktu kejadian hanyalah fiksi