━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━
"Sial! Kenapa tidak berfungsi?!" Seungbin menggeram marah sembari membanting ponselnya dengan kuat ke lantai. Tindakannya menyentak semua murid yang berkumpul di lobi. Dabum nampak berjalan kearah ponsel pemuda itu dan memungutnya, lalu membawakannya kembali kepada Seungbin.
"Sekarang bagaimana?" Mina mulai menangis, kedua tangannya bergetar hebat, dia hanya menunduk karena tidak tahu harus bagaimana. "Apa kita semua akan mati jika tetap disini?"
Suasana hening seketika, semua orang menghantar diri mereka kedalam lamunan panjang tentang bayangan akan nasib mereka.
"Berapa lama kita harus disekitar mayat?! Aku tidak tahan!" Jisoo berseru.
"Bisakah kamu, tidak menyebut mereka begitu?" Baek Eunha menanggapi seruan kawannya yang dia rasa sedikit tak sopan.
"Mereka 'kan sudah mati, aku harus panggil mereka dengan apa lagi selain itu?" Balas Jisoo sinis.
"Bisakah kau diam?! Bisa-bisanya kau bilang begitu setelah melihat mereka mati, kalau mau pergi, pergi saja sendiri!" Eunchan berteriak pada Jisoo. Yang buruknya membuat gadis itu terpancing emosi tapi beruntung Yujun mampu menahan gadisnya.
Yujun menatap ke arah Somi sekarang. "𝘠𝘢h, Kim Somi. Kau sungguh tidak tahu kapan para guru kembali?"
Somi menggeleng sambil mengalihkan pandangan, "tidak. Aku bahkan tidak bisa menghubungi mereka." Dia menggigit kukunya tuk mengusir perasaan takut. Junhee didekatnya hanya memijit pelipis sendiri, pemuda itu menatap Lee Yoonseo yang menaiki tangga, tanpa aba-aba pemuda itu berdiri dan menyusulnya.
"Sial," Y/n mengacak surai nya dan beranjak dari duduk. Air Jordan 1 Black Toe miliknya melangkah keluar dari lobi.
Kedua tungkai sang puan berjalan di tengah koridor yang lumayan gelap akibat tak terkena akses cahaya, di lorong tempat Heo Yul kemarin malam menggila masih ada sisa-sisa darah dan banyak pecahan kaca berantakan dimana-mana. Y/n mengalihkan pandangan dan memasuk kamarnya untuk sekedar membaringkan badan sebelum notifikasi pesan dari Junhee bertengger pada ruang obrolan.
***
Singkatnya, Kim Junhee mengumpulkan kembali semua anak di lobi. Pemuda itu menjelaskan kalau mereka harus mengambil tindakan; mencari jalan keluar. Dia bilang bahwa garis pembatas membentang sampai ke atas bukit dekat gedung pusat retret ini, ada kemungkinan mereka bisa berjalan dan mencari pertolongan tanpa melewati batas dan tewas. Dan kemungkinan saat mereka mendaki bukit, mereka akan menemukan rumah penduduk sipil dekat sini dan meminta bantuan mereka.
Tapi semua penuturannya memicu pro dan kontra. Siapa pula diantara mereka yang mau menggadaikan nyawa untuk pernyataan Kim Junhee yang terkesan naif dimata mereka. Padahal, Junhee 'lah satu-satunya yang memikirkan segala solusi selagi yang lain malah berdiam diri.
Ko Kyungjun dengan hamparan hitam pada kedua matanya menatap Junhee malas, "haruskah kita semua pergi?" Tanya bermaksud mencari tau apakah dirinya harus mengikuti rencana Junhee yang menurutnya tidak terlalu bagus.
"Itu sangat tidak efisien," Jang Hyunho dibarisan nya bercelatuk.
"Benar," tanggap Junhee dengan anggukan. "Kita semua tidak bisa pergi bersama, aku akan pergi sendiri." Ujarnya yang mampu menumbuhkan rasa khawatir pada Lee Yoonseo.
"Aku akan ikut denganmu." Yoonseo maju selangkah, lengannya ditarik mundur oleh Jungwon disebelah. Junhee tersenyum mendengar keputusan gadis itu, tapi dia meminta Yoonseo tuk tetap tinggal.
Somi menatap interaksi keduanya sebelum mengucapkan kata, "kami akan ikut denganmu." Katanya sembari menarik kemeja Wooram didekatnya.
"Kenapa aku juga?" Bisik Wooram dengan nada memprotes. Somi membalasnya dengan tatapan sinis memerintah. Somi yang malah justru mengajak Nahee dan Jisoo. "Kalian juga 'kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
CURSĒ. (NHC)
أدب الهواة❝ 𝗪𝗵𝗼 𝗮𝗿𝗲 𝘆𝗼𝘂? ❞ Night has come Fanfiction Game kematian ini memaksa semua murid memainkannya. Meski mereka berdiri ditengah-tengah darah teman sendiri, mereka tetap bersikukuh terus hidup sampai esok hari. |✎NightHasCome only on