What Was I Made For? [1]

24 1 0
                                    

Sada pikir hidupnya sudah tenang, dia pikir bisa menikmati hidup tenang untuk kedepannya. Tapi, rupanya itu tidak cukup, dia belum cukup berusaha.

Ah, jadi kucing aja apa ya, kayanya enak tinggal ngeong-ngeong aja.

Sekelebat pikiran konyol itu merambat masuk begitu saja kedalam otaknya, sepertinya dia kurang healing.

Tapi kalo nanti takdirnya jadi kucing jalanan sama aja dong?

Sada mengusak rambutnya kasar, lagi-lagi tidak ada yang namanya hidup tenang. Kalau dia jadi kucing sekalipun itu bakal tetap susah, iya saja kalau dia jadi kucing dan punya babu? Kalau tidak?

Batu saja bisa remuk kalau ditengah jalan.

Sada menghela nafasnya sambil menatap layar laptop yang menyala didepan matanya, menampilkan tulisan-tulisan yang dia buat—iya Sada seorang penulis. Tapi amatir, alias cuma iseng-iseng saja. Alasannya? Untuk mengisi waktu luang.

Sebenarnya waktunya tidak seluang itu, hanya saja kalau kerjaan yang lain bisa dikerjakan sehari sebelum pengumpulan kenapa tidak? Yang penting dirinya bisa menikmati hidup dulu. Yah, walau sebenarnya tidak juga.

Banyak hal yang berkecamuk walau mungkin orang-orang mengira hidupnya enak—iya memang enak, tapi tidak dalam taraf dia bisa melakukan apapun yang dia mau. Tapi, tentu saja dia masih sangat bersyukur, diberi hidup enak tanpa cacat, masih bisa makan setiap hari, orang tuanya masih lengkap ditambah dengan satu saudara kandung dan tidak lupa teman-teman yang dia miliki.

Namun, yang namanya manusia—Sada pun begitu, pastinya merasa dalam hidupnya selalu ada hal yang kurang walaupun terkadang tidak tahu-menahu tentang apa itu.

Begitulah sifat alami manusia.

Jam kini sudah menunjukkan angka sembilan tepat, Sada yang memiliki kelas perkuliahan, untungnya dia sudah bersiap sedari tadi, hanya tinggal mengambil tas, memakai sepatu lalu pergi berangkat.

Sada sebenarnya malas, yang dia inginkan adalah bersenang-senang didalam kamarnya, melakukan hal yang dia mau—seperti tidur, menulis, menggambar lalu tidur lagi.

Tapi dia tidak bisa mengelak dari realita begitu saja, banyak yang harus dia raih, banyak yang menaruh harap padanya sebagai anak pertama, terlebih dia itu seorang laki-laki.

Tidak begitu menjadi beban harusnya, toh orang tuanya tidak mengekangnya harus melakukan ini dan itu, tapi bagaimanapun sebagai manusia yang masih memiliki pikiran waras dan rasa hormat, tentu saja Sada sebisa mungkin menekan dirinya untuk bisa menjadi yang terbaik—setidaknya untuk dia dan keluarganya.

Sudah sekitar 15 menit dirinya mengendarai sepeda motornya, yang kini sudah terparkir apik di parkiran kampus tempat dia menimba ilmu atau menganggur dengan gaya, begitu lah bahasa kerennya.

Tapi dia tidak semenganggur itu kok, dia masih punya banyak pekerjaan, tidur contohnya.

"Halo Sada!" Laki-laki itu dengan semangat menerjang dan merangkul tubuh Sada, hingga dirinya sedikit terdorong kedepan akibat ulah satu temannya itu.

Kenalkan, Rega salah satu teman baik Sada, mereka sudah berteman baik sedari mereka mengenal satu sama lain disekolah menengah kebawah atau SMP, dan begitu pertemanan mereka terus berlanjut hingga di bangku kuliah ini.

Jujur saja Sada sudah muak melihat muka Rega hampir setiap hari—ini hanya candaan saja, jangan dibawa serius, Sada tidak setega itu untuk membuang temannya kalau sudah bosan, dia tipe yang sangat menghargai pertemanan kok, jadi tenang saja. Muka Sada juga lebih ganteng kalau dibandingkan Rega, hehe.

Becanda, mereka berdua sama-sama ganteng kok, oke, cakep juga, apalagi mereka anak seni jadi jangan ditanya style mereka, pastinya on point setiap hari.

What Was I Made For?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang