"Dan, ini ku tulis untukmu dan ku jadikan dedikasi sebagai misi terakhir dalam perjalanan hidupku yang berisikan kamu, karena kenangan-kenangan itu adalah hal terakhir yang bisa ku miliki darimu sebelum perpisahan"
—o0o—
Pernah ada kita di bawah naungan langit senja. Duduk berdua sambil bercengkrama. Menantikan kehadiran malam yang akan menelan pijar jingga milik semesta. Seolah-olah hari itu hanya tercipta khusus untuk kamu dan aku.
Menyaksikan perpisahan sang senja yang berpulang ke peraduannya, aku menyandarkan kepalaku. Ah, ia dengan bahu kokohnya yang selalu siap untuk ku sandarkan. Rasanya seperti semua perasaanku sudah tergambarkan dengan cukup jelas dan nyata.
Kemudian ku tatap sorot matanya yang sayu namun tajam, terpantul cantiknya sinar jingga di sana. Ku telusuri tiap inci wajah manisnya. Alis tebal dan bulu matanya yang lentik, ia tahu aku selalu mengagumi itu.
Aku tersenyum.
Sedetik kemudian, ia menoleh ke arahku untuk membalas tatapan mataku. Menelisik tiap sudut wajahku, meletakkan telapak tangan kanannya di pipi kiriku. Kurasakan wajahku memerah, memanas. Sial, dia selalu mampu membuat jantungku berdebar.
Aku membeku ketika tanpa aba-aba ia meletakkan bibir manisnya di atas bibirku.
Andai waktu bisa ku hentikan barang satu detik, rasanya aku ingin berlama-lama di sini. Memberi dan menerima cinta, bersama dengan irama syahdu mendayu dalam kepala. Ah, cinta kita yang itu, ya.
Melepaskan tautan bibir kami, sekali lagi ku tatap matanya. Kali ini, matanya tampak berkaca-kaca. Oh, tidak, bahkan kelopak matanya tak mampu lagi membendung laksa sebening embun itu.
Ia menghapus jejak air matanya, menunduk. Kemudian kata maaf jelas sekali ku dengar ia mengatakannya.
Aku sama sekali tidak mengerti mengapa ia menangis dan meminta maaf tiba-tiba. Makanya, kemudian aku bertanya, "kenapa?"
"Mama udah daftarin aku di Malang."
Suaranya yang bergetar membuatku bingung harus bertingkah seperti apa. Sialnya, tidak ada yang bisa aku lakukan selain mengusap punggungnya pelan dan halus.
"Di sekolah taruna yang kamu bilang waktu itu?"
Aku menaikkan nada bicaraku sedikit menjadi lebih antusias, berniat mencairkan suasana. Ia mengangguk.
Tentang ia yang katanya akan melanjutkan sekolahnya di luar kota, aku sudah tahu soal ini. Karena meski ia berkali-kali berkata tidak dan berusaha menolak, ia hanyalah seorang anak yang ditunggangi mimpi oleh orang tuanya.
"Keren, dong! Kan, itu emang cita-cita kamu."
"Jauh..." paraunya.
"Aku tahu, gak pa-pa," kataku mencoba menenangkan meski sebenarnya aku pun sangat mengerti maksud dari kalimatnya.
"Jauh..." katanya lagi. "...dari kamu."
Itu adalah kalimat terakhir yang dia ucapkan dengan getir sebelum akhirnya ia benar-benar menangis. Bahunya naik turun. Ku usap punggungnya, kemudian ku bawa ia ke dalam pelukanku. Lalu dengan diam-diam aku pun ikut ke dalam alunan tangisnya.
Ya, aku tetaplah aku, begitu pun kamu yang tidak bisa menentang aturanmu. Pada akhirnya, aku tetap melihat dirimu yang semu. Aku menatap kepergianmu yang membawa raga dan bayang-bayang mu itu.
Bogor, 11 Maret 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Sebelum Usai
Teen FictionSetahun lalu ketika ia mengenakan celana putih dan sweater hitam. Kalau tidak salah sepatunya warna biru tua. Saat itu, untuk kali pertama aku mulai mengagumi mata indahnya, kemudian senyumannya, lalu tawanya, hingga entah apa yang terjadi aku jatuh...