Prolog: Violet Crazy

263 21 21
                                    

Aku akhirnya menyadari: terkadang, meski kau sangat menginginkan sesuatu, lebih baik kau tak memilikinya sama sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku akhirnya menyadari: terkadang, meski kau sangat menginginkan sesuatu, lebih baik kau tak memilikinya sama sekali.

Semuanya violet.

Violet.

Mataku, cahaya dari kesepuluh jemariku, garis-garis ubin kamar mandi, langit di luar jendela, mereka menguarkan warna violet yang pelan, berkabut, terasa jauh.

Berat di hatiku berbanding terbalik dengan ringan yang membuat kakiku seolah tak menapak.

Kegetiran menembus punggung, menarik sarinya dari dalam perutku, dari antara pusar dan pumpunan keinginan erotis. Dia membuatku menangis.

Diajaknya aku untuk melupakan, tapi tak bisa.

Aku tak bisa.

Violet itu berakar kuat di diriku. Aku tak bisa membabatnya. Pisau berkarat, gunting menumpul, sabit terpatah, sebab semuanya melawanku. Merendahkanku. Menelanku hidup-hidup.

Keluarkan ia. Bisik-bisik sendu itu menemukanku. Keluarkan, Kanna.

Awan lembayung meleleh di sudut jendela, mengalir, menemukanku, membelaiku, mencekikku.

Anakku, panggilnya lembut, oh, anakku, bisiknya penuh cinta. Tapi mengapa bayanganku di cermin ini terlalu muram? Aku tak suka.

Kanna, keluarkan ia.

"Tapi aku tak memilikinya lagi."

Ya, kau punya. Kau masih memilikinya.

Jingga yang pudar, gelap, dan dia duduk di sana, menangis pilu.

Keluarkan, Kanna. Bebaskan ia.

Violet itu mengintip lagi dengan matanya yang merah, mencuat dari balik kabut. Buih-buih gelombangnya menguasaiku, menenggelamkanku, dan langit di luar jendela menari lagi.

Bau pahit obat-obatan, anyir darah, perban mengering, kelebatan bayang-bayang yang meledak dalam nila ... aku lelah. Bising itu terus memperingatiku, kau harus mengeluarkannya! Tapi aku tak bisa.

Kanna! dia memanggil.

Kanna!

"Ya, aku di sini."

"Kanna!"

Pisau stainless keperakan berkelontang jatuh di lantai kamar mandi yang licin, lalu aku hidup lagi.

"Apa yang kau lakukan, Kanna?! Ya Tuhan."

Aku merasakan balutan hangat jari-jari yang lain di pergelangan tanganku. Pelan-pelan, kuputar wajahku pada pemiliknya.

"Seokjin, kau pulang?" tanyaku dengan suara yang seperti tercuri. Mungkin setan violet itu yang melakukannya.

"Ya," Di sela-sela napasnya yang terengah-engah, Seokjin mengangguk, "Aku baru saja pulang." Wajahnya masih berkerut karena khawatir.

"Welcome home, Seokjin ..." Aku berusaha tersenyum. Sebelah tanganku terangkat untuk mengusap pipinya.

"Kanna, kumohon, demi dirimu, demi diriku, demi kita, jangan lakukan ini lagi," pintanya. Hidungnya memerah. Air matanya hampir tumpah. Rematannya masih mencekal erat pergelangan tanganku, membuat rasa tertekan samar dari gagang pisau yang masih tersisa di ujung jemariku perlahan menghilang.

"Rasanya berat dan penuh," bisikku. Suaraku serak. Kerongkonganku seperti baru saja digerus oleh sikat besi.

Seokjin lekas memelukku. Tangisnya meledak. Ya Tuhan, maafkan aku, maafkan aku, gumamnya, tapi tidak ada yang salah pada dirinya.

Lagipula, mana yang lebih terlihat tak semestinya? Dirinya yang baru saja pulang dari perjalanan bisnis, menggunakan pakaian lengkap dan perlente, wangi parfum yang membuai, atau aku yang nyaris telanjang setelah sebilah pisau hampir menembus perut sendiri? Lucu.

Aku tertawa, begitu keras sampai-sampai Seokjin menarik wajahnya menjauh. Matanya membesar. Dia terperanjat melihatku tertawa tanpa sebab, padahal penyebabnya adalah pernikahan yang timpang ini.

Mengapa pria seperti Seokjin mau berlama-lama dengan wanita rusak sepertiku?

Tawaku terhenti.

"Mengapa kau belum juga menceraikanku?" tanyaku tanpa beban.

Sorot mata Seokjin seketika nanar. Air matanya terus mengalir hingga menetes di ujung dagu. "Tolong, Kanna, jangan bahas itu lagi."

Tapi mengapa? Kalau mau, dia bisa mendapatkan wanita mana pun yang jauh lebih baik. Sayangnya, aku terlalu pengecut untuk mengatakannya. Egoku menginginkan Seokjin seutuhnya, ingin agar cintanya tak pernah terbagi, tak pernah habis bahkan berkurang, hanya saja orang munafik sepertiku tak akan pernah mau mengakuinya.

"Kenapa, Seokjin?"

"Kanna ..." Lalu dia kembali menangis. Dia membenamkan wajahku lagi ke dalam pelukannya, "Karena aku teramat mencintaimu," lirihnya memenuhi egoku.

[]

Author's note:

Haiiiii halooo ketemu lagi di cerita baru. Sini kubelai pipinya kayak Kanna belai pipi Seokjin, terus aku bisikin: selamat datang di cerita ini, Sayang.

Aku kali ini mau mengangkat cerita tentang gangguan mental yang lain. Kayaknya udah banyak ceritaku yang mengangkat tema anxiety disorder ya, sekarang aku mau membawakan sebuah cerita dari seorang wanita pengidap skizofrenia dengan delusi presecutory. Agak menantang, aku mau riset2 dulu biar ga salah2 😅😅😅

 Agak menantang, aku mau riset2 dulu biar ga salah2 😅😅😅

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Peanut Butter and TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang