4| Semangat dan Terima Kasih

464 67 42
                                    

Meskipun tahun ini sudah berusia empat puluh lima tahun, tak membuat kegagahan masa muda Barata luntur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meskipun tahun ini sudah berusia empat puluh lima tahun, tak membuat kegagahan masa muda Barata luntur. Jika tidak ada yang benar-benar tahu usia sebenarnya Barata, mungkin orang-orang akan percaya jika saat ini laki-laki itu baru berusia di akhir tiga puluhan. Terbukti saat Barata berjalan dengan kedua putranya. Orang-orang justru menganggap jika dia adalah sosok kakak bagi Meitraya dan Laut. Hal yang terkadang dijadikan bahan ejekan bagi Meitraya sampai saat ini.

"Ayo dong, Dek, semangat!! Tuh, tuh, lihat di sana banyak cewek-cewek cantik. Memang kamu nggak mau lewat di depan mereka terus tebar pesona?" ucap Barata yang sejak tadi menyemangati si bungsu. Raut kantuk dari wajah Laut menjadikan pemandangan yang menggelikan untuk Barata.

"Papa aja sana. Aku mau duduk di sini."

"Lho? Kok malah duduk?" Melihat Laut yang duduk di tepi lapangan, membuat Barata dan Meitraya sontak menghentikan langkah mereka. "Ayo dong, lari pagi bagus untuk kesehatan lho. Bangun yuk?"

"Males. Aku 'kan tadi udah bilang, kalau aku nggak mau ikut. Tapi malah di seret ke sini. Semalem aku tidur lambat, Pa, jadi sekarang masih ngantuk." balas Laut yang sudah memajukan bibirnya—merengut.

Barata akhirnya menatap si sulung, meminta bantuan. Meitraya memutar bola matanya lalu membuang napas kasar. Papanya selalu seperti ini jika sudah membuat Laut kesal, pasti langsung membuang tanggung jawab kepadanya.

"Bangun, jangan duduk di situ. Kita cari sarapan aja gimana? Mau?" Tangan Meitraya ter-ulur di depan yang lebih muda. Mendengar apa yang Meitraya ucapkan, membuat kedua mata Laut berbinar dan segera menerima uluran tangan tersebut.

"Mau makan bubur ayam yang di ujung sana. Terus nanti pulang nya mau beli gorengan."

Barata agak ragu ketika mendengar permintaan yang terakhir. "Nanti Mama marah Dek kalau beli gorengan. Ganti yang lain aja gimana? Kue cucur? Atau kue-kue yang lain? Ya?"

"Males. Ya udah kalau nggak boleh beli gorengan, kita pulang aja. Nggak jadi beli sarapan nya." Laut sudah hendak berbalik badan, namun Meitraya dengan cepat menahan. Tanpa berkata apa-apa, karena setelah mendelik tak suka pada papanya, Meitraya membawa Laut menuju tempat penjual bubur ayam di ujung jalan sana.

Pasrah, Barata mengikuti kedua putranya dari belakang. Sekaligus harus menyiapkan diri yang ketika pulang nanti pasti akan mendapat siraman rohani dari sang istri. Tapi melihat bagaimana senyum Laut yang merasa dibela oleh Meitraya, Barata tak kuasa lagi untuk menyela. Tak sanggup untuk melihat raut sedih Laut karena permintaan sederhana nya di tolak mentah-mentah. Barata tidak tega.

Ketiganya memesan tiga mangkok bubur ayam, dengan masing-masing toping. Laut sendiri alergi dengan kacang, jadi tidak menggunakan salah satu toping tersebut. Sedangkan Meitraya hanya kurang menyukai bau daun seledri. Barata adalah satu-satunya yang memakai toping paling lengkap.

"Hari ini aku ikut siapa?" Laut membuka suara. Menatap kakak dan papanya bergantian.

"Ikut Papa. Hari ini Mama full di rumah sakit, ada tiga kali operasi. Abang kamu juga full kelas ya, Bang?"

LaMei (HIATUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang