Sore itu, mungkin sekitar pukul empat, kala matahari sudah hampir bersembunyi di balik awan kelabu, Meitraya menyeret tangan adiknya ke halaman belakang yang luas. Bermaksud mengajak Laut untuk bermain bulutangkis bersama. Sedangkan yang di seret paksa hanya menurut tanpa membantah. Jika di pikir-pikir, deskripsi Meitraya tentang Laut memang sepenuhnya benar. Laut itu memang idaman seluruh kakak di dunia. Meitraya berani menjamin.
"Kita main santai aja. Tapi ... yang kalah harus dapet hukuman. Oke, deal? Deal!!" Di saat Meitraya mengatakan demikian, Laut hanya memandang penuh kebingungan. Bingung dengan sikap aneh kakaknya yang berbicara sendiri.
Keduanya bermain dengan santai, pada awalnya. Namun karena Laut juga lumayan mahir bermain bulutangkis, Meitraya jadi sanksi dan takut menemui kekalahan. Akhirnya, Meitraya yang dulunya merupakan atlet bulutangkis semasa sekolah dasar sampai menengah pertama, menjadi penuh ambisi untuk mengalahkan Laut.
"Katanya main santai. Kok sekarang jadi ambis gini?" gumam Laut yang tengah membenahi tali sepatu nya.
"Udah?" tanya Meitraya sedikit keras pada Laut.
Laut menganggukkan kepala, lalu memulai kembali permainan yang sempat tertunda. Meitraya rupanya benar-benar enggan kalah, terbukti beberapa kali membuat Laut kelimpungan sendiri. Di akhir permainan, mungkin karena Meitraya yang penuh semangat sampai memberikan smash yang cukup kuat kepada Laut. Laut yang tidak siap, tidak sengaja melepas raket di tangannya, dan berakhir raket tersebut mengenai kening nya dengan kuat.
"Laut!!" Meitraya sungguh luar biasa panik dan segera berlari ke arah adiknya. Begitu melihat dari dekat, terdapat aliran darah dari tangan Laut yang sedang menutupi kening nya. "Astaga! Coba gue lihat, lepas dulu tangan lo."
"Shhh pelan, Bang, perih."
"Luka nya nggak dalem, untung aja. Ayo masuk dulu, gue bantu bersihin." Sejenak, Meitraya berusaha menetralkan degup jantungnya yang menggila. Melihat luka tersebut tidak dalam, Meitraya bisa menghela napas lega.
Kala tengah fokus mengobati luka Laut, Meitraya diam-diam memperhatikan Laut yang tidak mengeluarkan suara apapun. "Lo marah?" tanyanya kemudian.
"Gue?" Justru Laut membalas dengan sebuah pertanyaan juga.
"Iya, lo. Kenapa diem aja? Lo marah sama gue?"
"Kenapa gue harus marah sama lo? Gue nggak marah."
"Terus kenapa diem aja?" Tangan Meitraya mengusap pelan luka Laut, memastikannya benar-benar aman.
"Nggak pa-pa," Pandangan Laut mengedar menatap area ruang makan di rumah nya. "Udah obatin nya?"
"Udah."
"Gue laper."
Meitraya mengerutkan kening. Masalahnya, Laut itu baru saja makan mie instan satu jam yang lalu. Sekarang sudah lapar lagi? "Tapi nggak ada makanan apa-apa. Mama masih pulang jam enam nanti. Atau mau cari makanan di luar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LaMei (HIATUS)
Teen FictionLaut tahu, pada akhirnya dia akan tetap melupakan semua kenangan yang telah mati-matian dirinya ingat. Pada akhirnya, semua kisah indah yang pernah dirinya lalui, akan menjadi lembaran kertas kosong tanpa goresan. Sesuatu yang kejam itu telah mereng...