"Please inget, please. Kemarin Papa bilang apa, ya? Ini gimana cara ngitungnya? Laut, please kali ini aja ...," Entah sudah berapa kali Laut memukuli kepalanya sendiri. Beberapa lembar kertas di atas meja belajar nya kini berserakan, bahkan ada yang sudah jatuh ke atas lantai.
Jam weker di atas nakas menunjuk angka 2 pagi. Namun Laut belum mampu terlelap sejak tadi. Masalah dirinya yang tidak mengingat apapun tentang apa yang papanya jelaskan tadi, adalah alasan kenapa Laut masih berkutat di atas meja belajar nya sendiri. Sebenarnya, Laut sudah mencatat banyak rumus dari papanya, hanya saja saat ini Laut tidak tahu dimana buku catatan itu berada. Sudah di cari ke sana-kemari, namun buku itu seolah raib tanpa jejak.
"Oke, tenang Laut, tenang." Merasa tidak ada gunanya menjadi panik, kini Laut berusaha menenangkan dirinya sendiri. Menarik napas panjang berulang kali, sembari mengusap dadanya. "Lo pasti bisa. Cari dulu buku nya, pasti ketemu. Buku itu pasti masih ada di sini. Iya, pasti!" Kemudian Laut bangkit, dan tempat pertama yang menjadi tujuannya adalah rak-rak buku di sudut kamar. Semoga saja memang buku itu berada di sana.
Padahal, Laut sudah mencari di rak buku tersebut sebanyak tiga kali.
"Aargghhh!! Kenapa nggak ada?! Gue harus dapet buku nya malem ini! Sial! Lo memang manusia paling nggak berguna, Laut!!" geraman itu sengaja Laut tahan. Kedua tangannya terkepal. Laut merosot ke lantai, bersandar pada rak-rak buku nya.
"Bahkan cuma sekedar inget warna sampul buku nya pun, lo nggak mampu." Terdengar tawa mengejek dari bilah bibirnya beberapa saat kemudian. "Kalo gini caranya, gimana gue bisa bantu Papa coba? Apa yang bisa gue bantu? Hari ini mungkin gue lupa sama buku itu, besok ... bisa aja gue udah lupa siapa nama gue. Miris haha!!"
Laut lelah dengan semuanya. Sunyi yang terjadi semakin membelenggu nya ke dalam kesakitan tanpa akhir. Niatnya baik, hanya ingin membantu papa dan menjadi berguna, setidaknya sekali, sebelum dirinya mati. Tetapi apa? Tuhan bahkan tidak mengizinkan dirinya untuk melakukan itu.
"Bodoh, bodoh, bodoh! Lo bodoh, Laut! Anak pembawa sial! Nggak berguna! Lo cuma bisa nyusahin Mama, Papa sama Abang lo doang!!" Kembali, tangan itu memukul kepalanya sendiri. Kini disertai tetesan air mata yang mengalir dengan deras. Tidak ada siapa pun kan di sini? Jadi tidak ada apa-apa kan untuk menangis seperti ini?
Yang Laut tidak tahu, bahwa Barata menyaksikan semuanya dari balik pintu yang sedikit terbuka. Barata tahu putra bungsunya itu belum terlelap, jadi Barata diam-diam menemani Laut sejak tadi. Dua jam, Barata duduk di luar hanya untuk menyaksikan setiap kesakitan Laut malam ini.
Melihat Laut memukuli kepalanya, lalu menyalahkan dirinya sendiri, dan bahkan mengatakan dirinya sebagai pembawa sial, Barata ada di sana. Mendengar dan melihat semuanya.
Luruh, Barata ikut luruh ke lantai. Bersandar pada tembok, sembari terus merekam tangis pilu Laut. Barata memejamkan mata, membiarkan air mata itu jatuh bersamaan dengan milik sang putra. Karena pada kenyataannya, Barata tidak pernah membiarkan putra-putranya berjalan sendirian. Dia selalu ada di sana, bersama mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
LaMei (HIATUS)
Teen FictionLaut tahu, pada akhirnya dia akan tetap melupakan semua kenangan yang telah mati-matian dirinya ingat. Pada akhirnya, semua kisah indah yang pernah dirinya lalui, akan menjadi lembaran kertas kosong tanpa goresan. Sesuatu yang kejam itu telah mereng...