"Bang, bisa ngobrol sebentar sama Papa?"
Malam sudah mengambil alih, saat Meitraya mengikuti langkah kaki Barata menuju kafetaria rumah sakit. Dalam perjalanan itu, Meitraya sesekali menghela napas sembari menatap punggung papanya yang terlihat tegang. Meitraya paham, papanya sudah tahu tingkah nya hari ini, dan papanya pasti akan memarahi nya kali ini.
"Kamu udah makan, Bang? Mau makan sekalian nggak? Atau mau cari makan di luar aja?"
"Enggak, aku udah makan kok." Kali ini Meitraya tidak berbohong. Sebelum memutuskan untuk kembali ke ruang rawat Laut, dia sudah mengisi perutnya terlebih dahulu.
Barata tidak lagi bertanya, karena setelah itu berlalu untuk membeli minuman. Setelah menyelesaikan pesanan, laki-laki yang masih mengenakan setelan kantor tersebut kembali, tangan nya membawa dua minuman kaleng dengan rasa berbeda.
"Tadi gimana pertemuan sama dosen nya, Bang? Boleh Papa tau, apa yang lagi di bahas sama Abang?"
"Ah?" Sejenak, Meitraya hanya ragu-ragu. "Nggak bahas apa-apa, sih, Pa. Cuma terkait tempat magang doang. Itu juga karena aku yang minta rekomendasi sama beliau. Aku sama beliau cukup deket."
"Bagus deh, terus udah dapat tempat nya?"
"Udah. Aku sama anak-anak kayaknya minggu depan mau cek lokasi nya juga, sekalian ketemu sama pemilik nya."
Barata tersenyum dengan menganggukkan kepala. Menyesap minuman nya sekali, setelah itu kembali membuka suara. "Jangan terlalu capek-capek, Bang. Meskipun lagi sibuk sama tugas, jangan lupa makan."
"Pa ...,"
"Hmm?"
"Aku tau bukan ini yang mau Papa bahas." Terdengar helaan napas gusar dari Meitraya. "Papa pasti mau marah sama aku, karena tindakan aku hari ini 'kan? Aku salah, kalau Papa mau marah silahkan. Jangan pura-pura gini, Pa."
"Pura-pura apa sih, Bang?" Kalimat Meitraya barusan membuat Barata tertawa kecil. "Papa memang lagi pengin ngobrol sama kamu kok. Pengin tau progres kuliah kamu juga. Nggak ada yang pura-pura di sini, Bang."
"Bohong. Papa selalu aja gini." gumam Meitraya, yang seketika langsung menundukkan kepalanya. "Aku hari ini juga nggak tau lagi kenapa. Aku marah, khawatir, tapi aku juga kecewa. Cuma ... aku nggak tau penyebab dari semua itu karena apa. Aku tau aku salah, tapi tindakan Laut yang nggak mau cerita ke siapa-siapa juga salah, Pa. Aku emosi sama dia, itu semua karena aku takut. Aku takut lihat Laut sakit, aku takut lihat Laut nahan semuanya sendirian."
Pengakuan Meitraya justru membuat Barata lagi-lagi tersenyum. Memang ini lah yang ingin dirinya dengar dari si sulung. Barata tidak ingin memarahi Meitraya, karena memang bukan salahnya. Semua perasaan yang hadir itu, bukan salah Meitraya. Dia hanyalah seorang kakak yang tengah kalut karena melihat adiknya terluka.
Itu wajar. Dan bukan hak Barata di sini untuk menghakimi perasaan Meitraya. Tetapi, Barata tidak ingin munafik bahwa dirinya sempat kecewa dengan tindakan Meitraya yang meninggalkan Laut sendirian. Begitu cerita itu sampai ke rungu nya, Barata bahkan termenung lama. Sembari berpikir keras apakah cara didiknya selama ini salah? Apakah pertengkaran yang terjadi dengan Meitraya dan Laut hari ini, adalah karena ketidakmampuan nya sebagai seorang ayah?
KAMU SEDANG MEMBACA
LaMei (HIATUS)
Teen FictionLaut tahu, pada akhirnya dia akan tetap melupakan semua kenangan yang telah mati-matian dirinya ingat. Pada akhirnya, semua kisah indah yang pernah dirinya lalui, akan menjadi lembaran kertas kosong tanpa goresan. Sesuatu yang kejam itu telah mereng...