Apa yang sedang kulakukan di sini.
Marsha melihat sekeliling lingkungan yang asing. Dia belum pernah ke daerah di pinggiran kota ini. Sekarang tempat itu sepi. Bayangan panjang yang hanya diselingi oleh lampu jalan yang berwarna kuning membuatnya sangat tidak nyaman.
Seharusnya aku tidak pergi ke pesta itu.
Ia menahan keinginan untuk melangkahkan kakinya. Manajer tim Marsha, Deo, terlihat sangat kecewa karena Marsha tidak datang ke pesta ulang tahunnya, sehingga dia baru tergerak untuk datang pada menit-menit terakhir. Saat itu pukul tiga pagi dan gadis itu sangat lelah dan tidak bersemangat. Kakinya terasa sakit. Dan meskipun Marsha tahu bahwa ia terlihat sangat cantik dengan jaket bolero putihnya, jaket itu hanya memberikan sedikit perlindungan dari dinginnya udara pagi yang lembab.
Marsha telah menunggu selama lebih dari dua puluh menit tapi tidak ada satupun taksi yang lewat. Dia memeriksa ponselnya lagi. Taksi online terdekat masih berjarak 60 menit lagi. Sepertinya dia memang berada di bagian pelosok kota sampai tidak ada sopir taksi online di tempat ia kini berada.
Lalu, bulu kuduknya berdiri. Seseorang berjalan ke arahnya.
Tetap tenang. Tidak apa-apa. Teruslah berjalan. Marsha tiba di persimpangan berikutnya dan, berdasarkan firasatnya, ia berbelok ke kanan. Tapi dia masih bisa mendengar seseorang di belakangnya. Marsha mempercepat langkahnya, suara sepatu botnya berbunyi seiring dengan debar jantungnya.
Dan kemudian ia merasakan lengannya ditarik dengan keras hingga ia terjatuh ke belakang. Marsha berteriak saat lututnya membentur trotoar. Seorang pria berpakaian hitam mendorong kepalanya ke trotoar dan meraih ponsel yang terlempar di samping kepalanya.
"Hei!" sebuah suara terdengar dari seberang jalan. Dia mendengar pria di atasnya mengumpat dan kemudian pergi. Marsha duduk dan melihat sesosok tubuh tinggi dengan jaket kulit berlari secara diagonal di seberang jalan mengejar penyerangnya. Sebuah tong sampah sampai terguling ke tanah akibat aksi kejar-kejaran itu.
Marsha berjuang untuk mengatur nafasnya. Ia merasakan sesuatu yang hangat mengalir di wajahnya dan menyentuhnya dengan lembut. Aku berdarah.
Dompetnya telah hilang. Telepon genggamnya, juga hilang. Marsha bisa merasakan air matanya mulai merangsek keluar. Hentikan. Tenangkan dirimu.
Dan kemudian ia mendengar langkah kaki dan jantungnya berdebar lagi. Marsha menggertakkan giginya, bersiap untuk melawan. Ia menyipitkan mata dan kemudian melihat kilauan cahaya dari sebuah jaket kulit.
Itu adalah pria dari seberang jalan.
Pria asing itu dengan cepat mengangkat kedua tangannya dan berhenti lima meter darinya.
"Gue udah nyoba buat nangkep, tapi bajingan itu berhasil lolos. Sebenarnya dia sempat berusaha buat ngelawan gue, tapi gue kehilangan jejak dia.." Pria itu melihat ke bawah ke trotoar dan mengatupkan rahangnya dengan marah; sepertinya dia marah pada dirinya sendiri dan juga pada penyerang Marsha.
Ketika dia mendongak, ekspresinya terlihat terpukul.
"Lo berdarah!"
Marsha menyentuh wajahnya dan kemudian menatap lututnya yang sakit. Celana kainnya robek-robek dan lututnya berlumuran darah.
"Nama gue Azizi. Gue cuma pengen bantu. Lo mau pake handphone gue? Atau gue yang telpon polisi? Apa gue bawa aja lo ke rumah sakit?"
"Engga!" Marsha menarik napas dengan gemetar. "Gak - gak usah lapor polisi. Gak usah ke rumah sakit." Liputan berita pasti akan seperti sirkus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indescribable Feeling [zeesha]
FanfictionSiapa sangka pertemuan tanpa sengaja antara Azizi dan Marsha adalah awal dimana mereka merasakan perasaan yang baru kali ini mereka rasakan? Perasaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. ...