Chapter 3 | Di Hannover

305 28 2
                                    

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun alur cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

• • •

Kening Rajif mengerut. "Cewek?", ujarnya memastikan. Deril mengiyakan.

Penerbangan selama satu jam ini dihabiskan kedua pemuda tersebut untuk berdiskusi mengenai pameran yang akan dihadiri pak MenHan.

Hingga tanpa terasa, mereka telah mendarat di bandara Frankfurt. Waktu lokal pukul setengah sembilan malam. Deril dan Rajif lalu bergegas ke arah imigrasi. Lalu mereka berdua menunggu bagasi masing-masing.

"Udah?", tanya Deril. Rajif mengangguk.

Deril lalu mengajak Rajif ke luar bandara untuk merokok. "Pahit", ujar Deril sambil menunjuk ke arah bibirnya. Rajif tertawa.

Mereka merapatkan jaket yang dipakai sambil merokok di luar bandara.

"Udah malam masih ramai ya", komentar Rajif. Dia memperhatikan banyak orang yang masih berlalu lalang di area bandara.

"Musim liburan mungkin", tebak Deril. Deril membayangkan masih ada perjalanan 3-4 jam lagi untuk tiba di kota Hannover. Badannya sudah merindukan kasur.

"Kereta jam berapa?", tanya Rajif. Rokok di tangannya sudah habis.

"Jam 12 malam pasi", jawab Deril. Rajif mengangguk. "Cari makan dulu deh sebelum ke Hannover", ajak Rajif.

Mereka berdua setuju dan lalu beranjak ke arah pangkalan taksi di luar bandara. Mereka akan naik taksi menuju ke stasiun kereta Frankfurt.

Setibanya di stasiun Frankfurt, Rajif dan Deril mencari restoran untuk mengisi perut yang mulai kelaparan. Karena sudah malam, tidak banyak pilihan. Mereka memilih untuk makan makanan fast food yang sudah terkenal dimana-mana.

"Jam berapa Der?", tanya Rajif sambil menikmati burgernya. Deril melihat ke arah handphonenya. Dia bersyukur jaman sekarang sudah canggih, hingga zona waktu pun otomatis mengikuti lokasinya. "Jam 11 malam waktu lokal", jawab Deril.

"Begitu sampai di Hannover, tidur dulu kali ya", tanya Rajif. Dia merasakan kantuk yang luar biasa. Deril mengangguk. Mereka akan bermalam di salah satu penginapan yang dekat dengan kampus Leibniz. Ini akan memudahkan Rajif dan Deril untuk berkoordinasi dengan mahasiswa yang ada.

Tepat tengah malam, kereta yang membawa mereka ke Hannover berangkat. Deril dan Rajif duduk bersebelahan. Kedua pemuda itu memejamkan matanya, mencoba untuk tidur sejenak. Tapi entah kenapa Rajif masih tidak bisa terlelap.

Padahal pencahayaan di kereta sudah redup. Dia lalu memandang ke arah luar jendela. Dari dalam kereta, samar-samar Rajf bisa melihat pemandangan malam kota Frankfurt. Temaram lampu membuatnya tersenyum.

Dibalik wajah ceria yang selalu ditampilkan Rajif, sebenarnya dia merasa sangat rapuh. Rajif pernah melabuhkan hatinya ke teman satu angkatannya semasa kuliah di Jambi. Sebelum akhirnya gadis itu memilih untuk meninggalkan Rajif. Tanpa alasan yang jelas.

Mata Rajif berkaca-kaca. Beberapa tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu, tapi masih saja dia mengingatnya. Dan masih terasa sakit setiap teringat.

Beberapa jam setelahnya, kedua pemuda itu pun tiba di stasiun kereta Hannover. Mereka tiba pukul 4 pagi waktu setempat. Deril menguap sembari berjalan ke arah pintu keluar.

Suhu subuh itu cukup dingin, 5 derajat. Rajif beruntung ia telah mempersiapkan syal. Ini membantunya untuk menghangatkan badan.

Deril dan Rajif berdiri di depan stasiun sambil merokok. Lagi-lagi mereka memperhatikan suasana kota Hannover yang meski masih subuh hari, tapi sudah banyak aktifitas warga lokal.

Key for Rajif | Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang