"Selamat pagi, Laut." ucap Meitraya yang kali ini menyambut pagi adiknya. Pemuda dua puluh satu tahun itu tersenyum begitu lembut menanggapi kebingungan Laut yang menatap penuh tanda tanya ke arahnya. "Gue Meitraya. Abang lo," katanya kemudian menjelaskan.
"Oh ... gue inget kok. Cuma kaget aja lihat senyum lo lebar gitu. Takut sobek tuh bibir."
"Dih, tapi gue masih ganteng 'kan?"
"Iya ganteng. Kalau jelek justru harus dipertanyakan lo itu anak kandung Mama sama Papa atau bukan."
"Bener juga sih. Eh tapi ...," Meitraya menyibak selimut Laut sedikit, lalu duduk di tepi ranjang nya. "Pagi ini ayo jalan-jalan ke kafetaria? Gue traktir, deh, apa aja yang lo mau."
"Emang bakal diizinin sama Mama?"
"Gampang itu, mah. Mama sama Papa dari semalem nggak tidur di rumah sakit. Ke sini nanti siang, itu pun cuma Mama doang. Kita nggak bakal ketahuan. Aman."
"Males. Lo tukang bohong. Nanti kalau Mama tau, kita semua kena omel."
"Dih, nggak percayaan banget sama gue. Denger nih, kapan lagi coba bisa sarapan di kafetaria? Atau, lo justru suka makan bubur hambar yang di siapin sama rumah sakit?" Mendengar kalimat itu, Meitraya tahu jika Laut sedikit terusik. Menahan senyumnya, Meitraya kembali membuka suara. "Ya udah kalau lo nggak mau, biar nanti gue ambilin bubur lo aja. Terus nanti biarin gue makan sendirian di kafetaria. Niat gue padahal baik, supaya lo nggak bosen makan bubur terus ...," Di akhir kata, Meitraya memasang wajah sedih dan sedikit frustasi.
Rupanya Laut benar-benar terusik oleh bujuk rayu Meitraya. "Gue juga bosen makan bubur terus. Tapi ... beneran nggak akan ketahuan Mama, 'kan?"
"Enggak, gue yang jamin!!" sahut yang lebih tua dengan semangat. "Kalau mau, ayo pergi sekarang. Gue ambil kursi roda sebentar. Gimana?"
"Boleh, deh. Tapi sebelum nya, gue mau cuci muka sama sikat gigi dulu."
"Siap, bos! Mari gue bantu." Di dalam hati, Meitraya benar-benar bersorak kemenangan. Rencana nya menjahili Laut telah berhasil. Sejak kecil, semua orang pun tahu bagaimana perangai Meitraya yang senang sekali menjahili adiknya itu. Inaya bahkan sudah menyerah memarahi Meitraya yang tidak kenal takut itu.
Melewati lorong panjang yang masih sepi, Meitraya menyenandungkan sebuah lagu dengan suara pelan. Namun Laut cukup menangkap suara itu dengan jelas. Udara pagi masih cukup dingin, jadi tadi Meitraya mengenakan syal, jaket dan juga selimut untuk melindungi Laut.
Kafetaria masih sangat sepi. Hanya ada dua orang yang tengah sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Meitraya mendorong kursi roda Laut ke meja paling ujung, kemudian berlalu memesan makanan. Tak lama, karena lima menit kemudian Meitraya sudah kembali sembari mengulas senyuman.
"Kenapa, sih? Aneh tau nggak senyum-senyum gitu." ucap Laut.
"Senyum 'kan ibadah. Emang salah gue senyum?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LaMei (HIATUS)
Teen FictionLaut tahu, pada akhirnya dia akan tetap melupakan semua kenangan yang telah mati-matian dirinya ingat. Pada akhirnya, semua kisah indah yang pernah dirinya lalui, akan menjadi lembaran kertas kosong tanpa goresan. Sesuatu yang kejam itu telah mereng...