DKR-2: Keturunan De Silva?
Tiba-tiba, Tanah Roh diserang oleh segerombolan monster aneh yang muncul entah dari mana, membawa kehancuran dan kekacauan di setiap sudut. Para murid tingkat menengah, yang sebelumnya hanya belajar teori dan sihir dasar, kini dipaksa menghadapi ancaman nyata di depan mata mereka. Mereka segera diberi instruksi tegas oleh para pengajar dan pemimpin akademi, yang tak punya pilihan selain mengirim mereka ke garis depan untuk melawan para monster mengerikan itu demi melindungi tanah suci tersebut.
Murid-murid yang tersisa di akademi sibuk membantu mengevakuasi warga kota Roh ke tempat yang lebih aman. Ketegangan semakin terasa di udara, dengan serangan monster yang terus berlanjut. Namun, Lili merasakan ada yang aneh dengan monster-monster itu. Mengapa mereka terus menyatu kembali meskipun inti mereka telah dihancurkan?
Lili memutuskan untuk menghancurkan inti monster menggunakan sihir api yang lebih kuat. Tapi anehnya, inti monster itu malah kembali menyatu dengan tubuhnya, seolah-olah tidak pernah dihancurkan. Kegelisahan mulai merayapi pikirannya.
"Apa yang terjadi? Ini tidak masuk akal. Seharusnya mereka musnah!" pikirnya, panik.
Lili merasa sebaiknya ia melarikan diri bersama para warga, tapi suara di dalam benaknya tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Dasar tidak berguna! Untuk apa kau menyandang marga De Silva kalau kau selemah ini?" suara itu terngiang kembali. Ucapan yang penuh dengan hinaan dan penghinaan itu menusuk hatinya.
Perasaan sesak yang lama terpendam kini membuncah lagi. Lili menggigit bibirnya, menahan gejolak perasaan yang semakin menyebalkan. "Menyebalkan..." gumamnya lirih, sembari menggenggam rapat tongkat sihirnya.
"Telanlah lawanku, Wahai Ibu Api Merah! Api Ganas!" Lili me-rapalkan mantra api dengan penuh semangat. Api menyembur dari ujung tongkatnya, membakar para monster sampai menjadi debu. Tapi meski berhasil, ia tahu harga yang harus ia bayar. Siapa pun bisa melihat bahwa daya sihirnya terkuras cukup banyak.
Lili menarik napas dalam-dalam. Jika terus-terusan menggunakan sihir tingkat menengah seperti itu, ia sendiri yang akan dalam bahaya.
"Apa yang harus aku lakukan?" bisiknya, berusaha keras menemukan cara agar dirinya bisa berguna dalam pertempuran ini.
Sementara itu, di sisi lain, Zeus memimpin kelompok murid menengah untuk mengumpulkan inti-inti monster. "Setiap makhluk hidup punya ingatan," katanya pada dirinya sendiri, "Dan inti monster ini mungkin bisa memberikan kita petunjuk."
Zeus menyatukan semua inti monster yang berhasil dikumpulkan dalam satu tumpukan besar. Jumlah monster yang terus bertambah bukannya berkurang mulai membuat situasi semakin genting. "Jika seperti ini, pasti akan ada lebih banyak korban. Sudah cukup inti yang terkumpul, kita harus bergerak cepat," gumamnya.
"Kalian mundur beberapa langkah," perintah Zeus dengan tegas, "Aku akan menggunakan mantra besar. Eugene, kau bawa mereka ke Hutan Pemikat dan cari seseorang bernama Agrata. Dia mungkin bisa membantu kita."
Eugene langsung menggunakan sihir ruangnya untuk membawa rekan-rekannya ke Hutan Pemikat. Mereka semua tahu betapa gentingnya situasi, tapi tidak ada waktu untuk menolak atau mempertanyakan keputusan Zeus.
Lili kembali berlari menuju asramanya, mengambil sesuatu yang mungkin bisa ia gunakan dalam pertarungan ini. Hatinya berdebar-debar saat mencari benda yang selama ini disimpan rapi di dalam kamarnya. Akhirnya, ia menemukan pedang sihir miliknya, yang sudah lama tak ia sentuh.
"Dengan ini, aku bisa bertarung lebih lama. Tapi... bagaimana orang lain akan memandangku?" pikir Lili, sedikit ragu. Ia tahu tidak banyak penyihir wanita yang menggunakan pedang dalam pertempuran, dan tekanan dari lingkungan membuatnya merasa asing dengan pilihan itu.
Tapi kali ini, ia tak peduli. "Aku tidak perlu memikirkan pandangan orang lain sekarang! Lebih baik aku tunjukkan kepada dunia bahwa perempuan juga mampu memegang kendali atas pedang!" teriaknya, membulatkan tekadnya.
Di medan pertempuran, Zeus merentangkan tangan ke depan, menyentuh inti monster yang berhasil ia kumpulkan. Gambaran ingatan monster mulai terputar seperti layar waktu. Namun, tiba-tiba sihir itu terhenti.
"Seorang undead..." gumam Zeus, merasakan kehadiran si pengendali monster. Seseorang menghapus ingatan yang terekam di inti monster, meninggalkan jejak sihir kuat yang membingungkan.
"Obliviate..." seseorang berbisik dari kejauhan, menghapus ingatan di dalam inti monster.
Tapi Zeus sudah tahu cukup banyak. Ia mengetahui lokasi undead tersebut, dan segera memerintahkan Agrata untuk menyucikan sosok itu, seorang undead bernama Wendellin, yang ternyata dulunya seorang bangsawan yang mati akibat invasi ke Tanah Roh.
Agrata terbang menuju gunung yang ditunjukkan Zeus, siap untuk menyucikan Wendellin. Namun, sebelum ia sempat melakukan sesuatu, api suci yang aneh muncul dan membakar tubuh undead itu. Zeus, yang berkomunikasi melalui telepati, mengarahkan Agrata dengan ketenangan khasnya.
"Aku sudah melihat yang perlu kulihat," gumam Zeus, mempercepat kehancuran Wendellin.
Di tengah medan pertempuran, Lili terus melawan monster-monster itu dengan pedang sihirnya. "HIATTT!!" Teriakan penuh semangatnya mengiringi setiap tebasan pedangnya yang mematikan. Kali ini, ia tidak hanya diam dan menunggu. Ia adalah bintang utama, tidak lagi ingin dipandang rendah hanya karena dirinya seorang wanita.
"Tidak ada yang bisa menentukan apa yang bisa atau tidak bisa kulakukan. Pedang ini adalah milikku, dan aku akan membuktikan pada dunia bahwa aku mampu."
Setelah beberapa monster berhasil ia habisi, Lili mengarahkan pedangnya ke monster-monster yang semakin banyak. "Wahai api yang membakar segalanya, berkumpullah di pedang ini untuk menghancurkan lawanku!" ucapnya penuh percaya diri, menyatukan sihir api dan air di dalam pedangnya.
Lili bergerak dengan anggun, dibantu oleh sihir roh angin yang melingkupi dirinya, memperkuat serangannya. "Tarian Roh! Sayap Angin!" teriaknya sambil menghempaskan gelombang sihir yang menghancurkan puluhan monster sekaligus.
Tapi daya sihir Lili hampir habis. Tanpa pilihan lain, ia menggunakan teleportasi, berpindah ke tempat pengungsian dengan cepat.
Di sana, Aslan, seniornya, memandang rendah. "Kabur lagi?" sindirnya.
Lili menatap Aslan dengan mata penuh kemarahan, "Aku tidak kabur. Ini memang tugasku, menyelamatkan mereka yang tidak bisa bertarung. Dan kau? Kau hanya bisa berkomentar!"
✩♬ ₊˚.🎧⋆☾⋆⁺₊✧
Agrata akhirnya tiba di puncak gunung yang diselimuti kabut tebal, siap untuk menghadapi undead yang ditugaskan kepadanya untuk disucikan. Namun, sebelum ia sempat melakukan apa-apa, dengan kekuatan Zeus yang datang melalui sihir jarak jauh, undead itu segera dilenyapkan dalam sekejap. Agrata hanya bisa berdiri di sana, merasa tak berperan sama sekali dalam tugas yang seharusnya menjadi miliknya. Ia mendesah dengan rasa kesal yang terpendam. "Seperti biasa, tuanku memang suka membuat segalanya lebih rumit dari yang perlu," gumamnya sambil menggelengkan kepala.
✩♬ ₊˚.🎧⋆☾⋆⁺₊✧
Lili berdiri tegak dengan pedang sihirnya yang masih berlumuran darah monster, tetesan merah pekat jatuh perlahan dari bilah yang bersinar di bawah cahaya redup. Matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan, seolah semua keraguan telah sirna. "Aku sudah melihat apa yang terjadi saat aku hanya diam dan menjadi penonton. Tapi sekarang, aku adalah tokoh utama dalam ceritaku sendiri," ucapnya dengan suara tenang namun penuh kekuatan.
Aslan, yang selama ini selalu merasa unggul dan mendominasi, kini hanya bisa terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Hatinya bergetar melihat perubahan yang nyata pada Lili. "Dia... benar-benar berubah..." pikirnya, menyadari bahwa gadis yang dulu sering ia remehkan kini telah menjadi seseorang yang jauh lebih kuat dan tak lagi bisa diabaikan.
Bersambung
03/22/2024✅
Re-publish,
09/22/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
𝕯𝖊𝖒𝖔𝖓 𝕶𝖎𝖓𝖌 𝕽𝖊𝖎𝖓𝖈𝖆𝖗𝖓𝖆𝖙𝖎𝖔𝖓 (Reincarnation Anthology)
FantasyDi dunia sihir yang dipenuhi dengan konflik dan monster, muncul sosok legendaris-Akuji Lefu, yang menguasai kegelapan dan kekuatan luar biasa. Namun, setelah serangkaian pertempuran epik, ia terlahir kembali dalam wujud seorang remaja bernama Zeus...