Prolog

9 1 0
                                    

***

"Tak perlu kursi di sekolah untuk menjadi pelajar sejati. Setiap detik adalah kesempatan belajar baru, setiap tantangan adalah ujian pengetahuan. Jadi, selalu buka pikiranmu dan biarkan dunia menjadi guru terbaikmu."

*** 

Di pinggir jalan yang sepi, di antara gedung-gedung yang terdiam, angin kencang dan petir yang memecah gelapnya langit semakin membuat situasi terasa mendesak bagi Grishella. Hujan deras membasahi rambutnya yang tergerai, dan tetes-tetes air jatuh membaur dengan air mata yang tak bisa dia tahan lagi. Dia merasa terperangkap dalam kegelapan malam yang mengancam, hampir tak bisa membedakan antara air mata dan tetes hujan yang membasahi wajahnya.

Saat Grishella hampir merasa putus asa di tengah badai, seruan tiba-tiba menggetarkan hatinya. "Grishella!" Panggilan itu memecah keheningan malam dan menyadarkannya dari kehampaan yang menyelimutinya. Dia mengangkat kepalanya, mata memburu mencari sumber suara yang begitu dikenal.

"Kak Gian?" bisiknya, suaranya terdengar lemah, hampir seperti serpihan angin yang terbawa badai. Gian, sahabatnya, langkahnya gemetar saat mendekatinya. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi juga penuh dengan kehangatan yang akrab.

"Kenapa kamu masih di sini?" Gian bertanya, suaranya terbawa angin kencang yang menderu. Dia segera membuka payungnya, membiarkannya membentang lebar untuk melindungi mereka berdua dari rintik hujan yang semakin deras.

Grishella mencoba menenangkan dirinya, tetapi gemetarannya tak bisa dia sembunyikan. "Aku... aku ketinggalan bis," bisiknya, suaranya hampir terdengar seperti desiran daun kering ditiup angin. "Tidak sengaja aku tertidur, dan ketika aku bangun, rokku sudah basah... dan bateraiku habis. Aku takut dengan petir," ucapnya terbata.

Gian mengangguk, ekspresinya penuh pengertian. Dia segera melingkarkan lengan satu tangannya di sekitar bahu Grishella, memberinya kehangatan dan kekuatan. "Kamu baik-baik saja sekarang," ucapnya dengan lembut. "Ayo, aku akan antar kamu pulang dengan mobilku. Sudah terlalu larut dan berbahaya kalau kamu masih di sini, tidak ada yang lewat."

Grishella merasa begitu bersyukur atas kehadiran Gian di sampingnya. Mereka berjalan bersama di bawah satu payung, langkah mereka cepat namun hati-hati di jalanan yang licin. Angin kencang terus bertiup, membelai wajah mereka dengan dinginnya malam yang menyelimuti kota.

Mobil Gian terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Grishella merasa lega begitu mereka sampai di sana, tetapi kekhawatirannya masih menghantui. Dia tidak akan pernah melupakan momen ketika dia merasa hampir tenggelam dalam ketakutan dan kesendirian, dan bagaimana Gian dengan cepat muncul sebagai penyelamatnya.

Mereka memasuki mobil, langit masih bergemuruh di luar sana. Tetapi di dalam mobil Gian, Grishella merasa sedikit lebih aman. Gian menyalakan mesin, dan mobil itu melaju perlahan ke dalam kegelapan malam yang memburam.

"Terima kasih, Kak Gian," bisik Grishella, suaranya terdengar lembut di antara gemuruh hujan di luar jendela.

Gian tersenyum padanya, matanya penuh dengan kehangatan. "Tidak perlu berterima kasih. Teman selalu ada untuk satu sama lain, bukan?" jawabnya, suaranya hangat dan menghibur.

Grishella tersenyum, hatinya dipenuhi dengan rasa syukur yang dalam. Mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui malam yang gelap, tetapi bersama-sama, mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah sendirian.

***

Satu PayungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang