Cacat Luar Dalam

529 55 4
                                    

Di dalam hidup ini, banyak cerita yang sulit Candra mengerti, tentang kelahirannya tak pernah diinginkan, tentang kehadirannya tak pernah diharapkan.

Dulu, sebelum Candra mengenal apa arti dunia, tatapan ketidaksukaan dan lontaran perkataan tajam menghinakan fisiknya yang tak sempurna, hingga ia sadar, ia benar-benar tak berguna bahkan untuk dirinya sendiri.

Fisiknya tak bisa menyenangkan pandangan mereka, kepintarannya tak bisa menghibur suasana hati mereka. Sampai ia berpikir, hidupnya hanya untuk menerima luka tanpa tahu apa salahnya.

Candra begitu takut untuk menatap orang-orang, ia merasa begitu rendah tanpa bisa mengangkat kepercayaan dirinya yang hancur sejak lama.

Sebagian hidupnya ia gunakan untuk menyenangkan orang terdekatnya, berusaha menjadi kebanggaan, sampai ia lupa, ia tak mampu sesempurna Bagaskara yang di atas segalanya.

Kali ini, ia kembali ditampar kenyataan, ia begitu menyusahkan keluarganya, tanpa bisa menjadi mandiri tanpa mereka.

Kata-kata tajam opanya begitu menyudutkan, bahwa ia begitu merepotkan orang-orang terdekatnya. Bahkan, ketika ia berusaha baik-baik saja, hanyalah bualan keadaan di tengah tubuh yang renta sakit.

Andaikan saja waktu ia bisa mengontrol rasa sakitnya, kembarannya tak akan repot-repot bolak-balik ke rumah sakit untuk menjaganya.

Dan sekarang, hanya untuk keluar dari kamar saja, ia begitu takut tatapan mereka kembali menghakiminya. Rasanya begitu sesak, sampai ia tidak bisa mengontrol tubuhnya yang terus bergetar. Duduk di sudut ruangan, memeluk lutut dengan pandangan ketakutan.

Lain halnya di ruang makan, para anggota keluarga berkumpul dengan suasana hangat. Pita dengan semangat mengambilkan lauk kesukaan Bagaskara. "Kamu suka rendang ayam, kan? Ini Oma buatkan khusus untuk cucu kesayangan Oma ini." Mengambil sepotong rendang bagian paha ayam ke piring makan, lalu meletakkannya kehadapan Bagaskara.

"Pasti kangenkan dengan masakan Oma." ujar Radit, mengusap surai anak sulungnya yang duduk sebelahnya.

Indra tersenyum memandangi Bagaskara. "Ayo kita mulai makan malamnya, cucu Opa ini pasti lapar, kan?"

Satu persatu mereka mulai acara makan malam, namun Bagaskara hanya diam, sesekali melihat kursi kosong di depannya.

Welly yang sedari tadi memperhatikan Bagaskara yang tampak murung, menghentikan makannya. "Ada apa, sayang? Kenapa belum makan?" tanyanya.

Semua mata tertuju kepada Bagaskara, membuat anak itu menghela napas. "Apa kalian lupa ada yang kurang?"

"Lauknya kurang? Sini piringnya, biar Oma tambah yang banyak, biar kenyang," jawab Pita meminta piring Bagaskara.

Bagaskara menggelang. "Kalian lupa atau memang nggak mau tau?" tanyanya datar.

"Maksudmu apa? Kami tidak mengerti arah pembicaraanmu," sanggah Indra.

Bagaskara menatap opanya itu dengan dingin. "Adekku belum turun sama sekali semenjak Opa bicara dengannya tadi. Apa yang Opa katakan padanya, sampai membuatnya takut ikut bergabung bersama kita?" tuduhnya.

"Bagaskara, jaga bicaramu!" tegur Radit.

Bagaskara tersenyum miris. "Apa, Pa? Memang benarkan, adekku selalu ketakutan berhadapan dengan Opa."

"Jangan tuduh opamu! Dianya saja yang selalu menarik dirinya menjauh," bela Pita tidak terima.

Tak

Sendok makan Bagaskara letakkan di meja makan, memandangi angota keluarganya satu persatu. "Selalu saja menyalahkan adekku tanpa mau tahu keaadaannya, padahal selama ini adekku berusaha menyenangkan orang-orang yang tak menghargai kehadirannya" Memfokuskan tatapannya pada Pita. "Oma juga sama dengan Opa, selalu membuat adekku terasingkan," ucapnya, membuat Pita memalingkan muka.

"Bagas!" sentak Radit, menatap tajam anak sulungnya. "Jangan bahas anak itu lagi! Lihat Opa dan omamu yang jauh-jauh kesini untuk bertemu kamu, cucu kesayangannya."

Bagaskara tersenyum hambar melihat Indra dan Pita yang tampak keruh. "Pantas saja Candra tidak pernah disambut hangat, karena dia bukan cucu kesayangan Opa dan Oma."

Indra yang diam sedari tadi, menatap Bagaskara yang menantangnya. "Untuk apa kami kesini kalau bukan untukmu, Bagas. Apa yang bisa kami harapkan darinya, sementara dia saja tidak bisa berharap untuk hidupnya?"

Emosi Bagaskara semakin panas, mendengar ucapan kejam yang tak sepantasnya diucapkan oleh keluarganya sendiri. Dari dulu sampai sekarang keluarganya begitu tidak adil kepada adeknya, sampai hati nurani pun mereka buang jika membahas keadilan untuk Candra.

Belum sempat Bagasakara menjawab pertanyaan opanya, pecahan kaca dan barang-barang berjatuhan dari lantai dua, bersama maid berlari mendekati meja makan, memperjelas kegaduhan di atas. "Maaf Tuan, Nyonya. Tuan Muda Candra mengamuk, kamarnya juga dikuncinya."

Bagaskara langsung berlari ke lantai atas, diikuti dengan yang lain. Sesampainya di kamar Candra, Bagaskara mengambil kunci cadangan yang diambilkan bodyguard. Ketika pintu dibuka, mata mereka membelalak, memandangi kamar yang berantakan seperti kapal pecah.

Bagaskara masuk perlahan, hatinya berdenyut sakit melihat kembarannya meringkuk di tengah serpihan kaca dengan tangis lirih menyesakkan dada.

"Maaf ... hiks ... janji nggak akan buat kesalahan lagi ... Janji nggak akan nyusahin lagi ... hiks ... hiks ...."

Bagaskara membelai rambut Candra, membawa kepala kembarannya di atas pahanya, membuat pandangan sayu itu menatapnya dengan mata memerah. "Maaf ... Candra nyusahin Kakak ... Candra tidak berguna ... hiks."

Candra memukul kepalanya dengan keras, menatap liar di sekitarnya hingga matanya terfokus kepada Opa, Oma, Papa, dan mamanya. Bangun dari pembaringannnya, berteriak histeris menjauh. "Jangan marahi aku! Aku janji nggak akan buat kesalahan lagi! Jangan tatap aku menjijikkan ... hiks ... maafkan aku ... maafkan aku!"

Bagaskara kewalahan mengunci pergerakan Candra yang semakin memberontak, hingga anak itu sesak napas dengan memukul dadanya berulang kali. "Papa, panggil Dokter!" pintanya dengan bibir bergetar, takut melihat kondisi kembarannya tak baik-baik saja.

Welly dan Radit yang terpaku melihat Candra yang tiba-tiba mengamuk, tersadar harus melakukan penanganan, apalagi anak itu mulai lemas di pangkuan Bagaskara. Berbeda dengan Indra yang semakin tidak suka melihat anak itu.

"Tidak hanya fisiknya saja yang cacat, ternyata mentalnya juga cacat. Tidak ada yang dapat kita harapkan darinya," ucap Indra diangguki Pita dengan tatapan sinis, pergi tanpa perasaan, meninggalkan mereka yang khawatir dengan kondisi Candra yang drop.




TBC



Hi Popon kembali menemani sahur kalian.

Awali sahur ini yang emosi-emosi 🤭

Maaf ya baru bisa up karena banyak yang Popon tuntaskan di dunia nyata:)

Terimakasih mau bersabar menunggu Candra up

Salam Manis Popon

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang