Di tepi pantai, di tepi bisikan air pasang, Kita berkumpul, segerombolan batu kita curhat. Bukan mulus dan licin, tapi kasar dan bulat, Impian yang kita pegang, yang nyaris tak bergema.Kita menyaksikan matahari, bola yang terbakar, Berkobar terang, memancarkan kehangatan jauh dan dekat. Sinar keemasannya menari di atas ombak, Kekuatan yang kita dambakan, di gua-gua tersembunyi.
Kami rindu untuk bangkit, menembus langit, Melukis awan dengan mata berapi-api. Untuk mengusir bayang-bayang, menghalau malam, Dan memandikan dunia dengan cahaya yang mulia.
Tapi kerikil kita, selamanya terikat, Ke dasar lautan, dengan suara teredam. Teriknya matahari, mimpi di kejauhan, kerinduan yang hening, dalam arus yang hening.
Namun, meski kita mungkin tidak pernah benar-benar naik, sedikit kehangatan di dalam diri kita bisa membaik. Untuk batu yang rata, terkikis oleh air pasang, Menyimpan percikan cahaya, jauh di dalam.
Dan saat matahari terbenam, mewarnai barat, Kita akan berkilauan dan bersinar, seolah membuat kita beristirahat. Merefleksikan apinya, dengan cara kami yang sederhana, Kerikil yang memimpikan sinar keemasan matahari.