Usai

22 0 0
                                    

"Aku percaya dia. Mau dia menjadi orang yang bisa kupercaya atau tidak, itu terserah dia,"

Itu yang kau ucapkan sendiri. Tentangku. Ketika aku mendengarmu, aku merasa aku harus menjadi orang yang bisa ia percaya.

Kini?

Kau tak menepatinya sendiri.

Menjadi yang tak bisa kupercaya.

======================================================================

"Aku mengkhianatimu,"

Mata Luna bergetar. Ia tak percaya apa yang dia dengar itu nyata. Hah? Arya? Mengkhianatinya? Bagaimana bisa?

Maksud Luna, bagaimana ia bisa berani?

Arya, yang telah menjalin hubungan yang sangat baik dengan Luna beberapa tahun terakhir dan menjadi lebih dari itu, kekasih, satu tahun terakhir, bisa seperti itu. Hubungan baik adalah definisi yang mungkin kurang mencerminkan bagaimana kedua keluarga sudah saling dekat satu sama lain, teman Arya dekat dengan Luna, teman Luna dekat dengan Arya. Dengan segalanya itu, bagaimana lelaki itu bisa berani tanpa berpikir panjang?

Komunikasi juga sangat baik, tentu saja kecuali satu bulan terakhir.

Ah, ya, tentu saja.

Bagaimana Luna tidak menyadari bahwa hubungan yang selama ini berjalan baik bahkan dengan jarak yang jauh itu sangat baik, tiba-tiba berhenti. Tentu saja Luna sangat menyadarinya. Perhatian itu. Suara indah tiap malam ditemani gemintang dan sinar bulan dari kamarnya. Notifikasi yang sering menerbangkan kupu-kupu di perutnya. Pesan-pesan lucu, posesif, dan menyenangkan itu. Foto dirinya yang kadang mengabur itu. Hilang.

Ah, bahkan ketika Luna ulang tahun, Arya baru menampakkan batang hidungnya di penghujung hari. Hahaha, mengingat itu Luna benar-benar merasa dirinya semenyedihkan itu. Mengharapkan pesan itu datang di waktu yang tahun lalu ia dapatkan.

"Coba aku tebak, apakah dengan wanita yang kau bersamai ketika naik kapal dan bis balik ke rumahnya?"

Hening sebentar. Mungkin ia meragu, mungkin ia mengangguk. Entah.

"Hmm.. Iya, benar."

Hah, sudah sangat Luna duga. Ketika Arya menceritakan bagaimana ia menemani kawannya itu yang katanya "Aku baru pertama kali sendirian," sungguh Luna sedikit banyak sudah berfikir ke arah yang sana. Namun, lagi-lagi Luna tetap berpikir baik. Karena apa? Karena Luna mempercayainya. Karena Luna mempercayai hubungan baiknya, terlebih teman-temannya. Keluarganya. Keluarga Arya, keluarga Luna.

Memori terulang tiba-tiba, bagaimana Arya dengan percaya dirinya mendatangi rumah Luna yang saat itu sedang penuh keluarga besarnya. Bagaimana ia menyatukan dua keluarga, mendapatkan hati keluarga Luna dengan mudahnya. Bagaimana ia berkali-kali ke rumah Luna bahkan dengan jarak puluhan kilometer karena berbeda kota. Ah, sial. Mengapa Arya melakukannya sejauh itu saat itu, dan terlebih, mengapa Luna mengizinkannya untuk sedalam itu berada di hati keluarganya?

Keluarga. Rasa sakit ini biar Luna simpan saja. Bahkan ia tak bisa membayangkan betapa sakitnya keluarganya melihat lelaki yang mereka anggap baik, sudah mereka anggap bagian keluarga, sudah sejauh itu, mengkhianatinya. Mengkhianati keluarga, terlebih Luna yang kurang lebih menjadi harapan banyak dari keluarga besarnya.

Hatinya benar-benar mencelos. Luna melirik meja belajarnya. Mendapati jurnal kecil miliknya berisi foto-foto mereka berdua, foto Arya, foto tempat-tempat yang Luna inginkan untuk kunjungi bersama Arya, yang masih belum ia selesaikan. Wah, bahkan jurnal yang ingin Luna berikan untuk Arya saat kelulusannya itu belum sempat ia berikan. Sekarang, usai? Dengan pengkhianatan besar ini?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dalam KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang