Seorang pria berusia 50 tahunan itu berdiri seorang diri menatap langit senja sore itu. Deburan ombak dihadapan nya kalah riuh dibanding pikiran juga hatinya. Ia melihat sang surya di hadapannya itu yang perlahan turun dan hanya meninggalkan semburat berwarna jingga.
"Sepertinya memang takdirmu untuk sendiri dan tak ada siapapun yang bisa tetap disampingmu tanpa terbakar." ujarnya pada surya yang kini telah menghilang dan digantikan gelap.
Pria itu tetap berdiri di sana walaupun matahari sudah terbenam setengah jam lalu. Gelap dihadapannya seolah tak membuat hatinya gentar sebab ia telah merasakan gelap yang lebih pekat di dalam hatinya. Hatinya telah mati sejak hari itu. Ia tak memiliki arah, tujuan ataupun alasan sekarang. Hidupnya kini hanya tentang menunggu kapan napasnya terakhir kali dihembuskan dan kapan jantungnya lelah untuk berdetak.
"Aku harap secepatnya, karena aku khawatir rasa kehilangan ini yang akan merenggut nyawaku sebelum malaikat maut itu sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nama di Ujung Senja
Teen FictionJabara Adhitama tak bisa memilih harus lahir di keluarga mana dan dari ibu yang seperti apa. Yang ia tahu ia dipilih untuk menjalani ini, itu artinya semesta tahu bahwa ia mampu. Di tengah kesulitannya bayangan masa lalunya kembali. ia juga harus m...