I. Kesalahan

235 6 6
                                    

Tempat itu seperti surga. Mungkin memang benar surga dunia. Rumput hijau yang membentang diiringi dengan pohon cemara yang berbaris rapi. Kabut menyelimuti membuat jarak terlihat sedikit gelap. Ditambah pula dengan cuaca yang mendung. Burung elang bersuara, berkoar mencari mangsanya. Kuda-kuda di padang sedang asyik menyantap makan siangnya. Terlihat pengembala itu berusaha menjaga peliharannya tersebut sambil terkantuk-kantuk.

Waktu yang tepat untuk tidur. Tetapi tidak di Edoxan. Layaknya hari biasa, jalanan tak henti-hentinya padat. Tetapi itu tidak berlaku jika kau pergi ke Edoxan Utara karena yang ada hanya hutan untuk berburu. Isak tangis terharu selalu meramaikan suasana negeri itu, manakala sang ayah yang berhasil pulang dari kunjungannya berburu rusa. Beruang besar yang berkeliaran disana tak membuat takut rakyat Edoxan. Keberanian suci didalam jiwa, itulah yang sejak dahulu tertanam di hati para rakyat Edoxan.

Kerajaan Edoxan, berdiri kokoh di pusat. Dinding-dinding yang terbuat dari beton, menghiasi kastil itu. Penjagaan ketat dari para prajurit yang tak henti-hentinya mengawasi setiap hari. Tak luput pula, bendera dan tirai-tirai kebangsaan berkibar di dinding dan puncak menara. Pemerintahan berpusat disana. Bangsawan, menteri, penasihat kerajaan turut bersemayam.

Terlihat di bagian tengah istana, sebuah lapangan luas. Sang kakak dan adik saling beradu pedang. Sang kakak terus terpojok. Mundur perlahan sambil berusaha menahan serangan terus menerus dari sang adik. Ia terus maju dengan percaya diri, membuat sang kakak kewalahan. Serang, serang dan serang.

SLANG!

Sang kakak terjatuh dengan pedang yang menghilang dari genggamannya. Pedangnya terpental ke sisi kanannya yang kosong. Tak jauh dari pandangannya, pedang perak sang adik siap menusuk bola matanya. Adiknya menang telak. Tak diragukan lagi.

"Bodoh! Aku tau kau sengaja mengalah karena aku perempuan, kan?" tatap sang adik sambil memasukkan pedangnya ke tempat semula di pinggulnya.

"Mana mungkin aku tega melawan adik kecil manis sepertimu. Qameella bodoh." Jawab sang kakak seraya beranjak dari lapangan kotor tersebut.

"Kau yang bodoh, Grissham. Ah sudahlah. Lebih baik kita kembali latihan. Aku ingin memanah."

"Keahlianmu ya."

"Dan jangan mengalah lagi."

Grissham tersenyum. Ia mengusap kepala adik kecilnya itu. "Barusan yang terakhir. Aku berjanji."

Qameella hanya termangut. Ia kesal karena sikap kakaknya yang tak tega melawan dirinya. Ia tahu sang kakak tak tega beradu langsung dengan perempuan karena menurutnya, hanya lelaki pecundang yang berani melawan perempuan. Tetapi menurut Qameella, sang kakak seharunya membuat pengecualian terhadap dirinya. Mereka pun akhirnya berjalan menuju tempat memanah di sebelah barat daya istana. Tempat favorit Qamella. Kecintaannya terhadap memanah sudah tumbuh sejak kecil. Kemampuannya tak perlu diragukan. Terbaik di Edoxan.

Saat Qameella dan Grissham sedang asyik bercengkrama, datanglah pelayan menghampiri mereka. "Permisi. Maafkan saya menganggu kalian. Tetapi raja dan ratu ingin kalian bersiap satu jam lagi. Keluarga dari Kerajaan Allegan akan datang."

"Sial. Kak, aku tak mau ikut." Jawab Qameella kesal.

"Kau boleh pergi dari sini." Ungkap Grissham kepada si pelayan. Pelayan itupun membungkukkan badan, memberi hormat dan pergi meninggalkan mereka.

"Kau pikir aku mau dijodohkan dengan Chal Rushfords? Baiklah, Chal memang menyukaiku. Dan itu akan sangat bagus untuk membentuk aliansi kedua negara. Setidaknya itulah yang diingiinkan Kerajaan Allegan."

Grissham memandangi adiknya itu. Ia memang tak suka dengan perjodohan ini. Ia ingin adiknya menemukan seseorang yang dicintainya atas pilihannya sendiri. "Katakan yang sejujurnya nanti. Kau berani?"

The Runaway PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang