Wonderwall

901 126 16
                                    

Suatu nama terlintas di pikiranku, ketika aku sedang bermain piano. Tania. Ya, Natania Anjani. Perempuan yang selalu satu kelas denganku, sejak pertama kali aku memasuki SMA. Aku menyukainya diam-diam, selama dua tahun ini. Entah, ia mengetahui fakta itu atau tidak. Sepertinya tidak, mengingat keberadaanku yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok anti-social ketika berada di sekolah. Seketika, pikiranku melayang kepada kejadian di awal aku memasuki SMA.

Hari pertama SMA.

Aku merasa asing dengan hal baru seperti ini. Menggunakan seragam putih abu-abu, alih-alih seragam putih biru. Tidak lagi bersama teman-teman sepergaulanku selama SMP, melainkan harus beradaptasi lagi untuk menghadapi teman-teman baru.

Aku bergegas menuju kelas dimana aku akan berada selama kelas satu, setelah melihat namaku di papan pengumuman. Ketika sampai di depan kelas, aku kembali mengecek ulang namaku di kertas absen yang ditempel di pintu kelas.

Adam Ariq - X IPS 2

Setelah itu, aku memasuki kelas. Meja-meja yang berada di belakang, sudah terisi penuh, jadi aku terpaksa memutuskan untuk duduk di barisan kedua dari depan, tentunya di samping jendela. Meja-meja yang berada di sekolah ini digabung menjadi satu, membuatku gelisah sendiri jika aku mendapatkan teman sebangku yang terlalu banyak berbicara. Pasalnya, aku sendiri bukanlah orang yang senang berbicara.

Tuhan sepertinya mengetahui kegelisahanku. Beruntung, aku mendapatkan teman sebangku yang tidak terlalu banyak bicara.

"Disini kosong?" tanya seorang perempuan yang dikuncir kuda. Ia berdiri di depan mejaku, sepertinya hendak menduduki meja kosong yang berada di sebelahku.

Aku sedang mendengarkan lagu, terpaksa melepas earphone yang menempel di kedua telingaku.

"Iya," ujarku pendek, lalu kembali mendengarkan lagu.

Perempuan itu segera meletakkan tasnya di atas meja. Aku menghela nafas lega, ketika ia tidak bertanya mengenai sesuatu kepadaku. Namun, dewi fortuna sepertinya enggan berpihak kepadaku.

"Lo dari SMP mana?" tanyanya sambil mengeluarkan alat-alat tulis dari tasnya.

"SMP Semesta,"

Jawabanku membuatnya menghentikan aktifitasnya sejenak. "Hah? Serius?"

"Iya," ujarku datar. Penasaran, aku mencoba bertanya, risih dengan tatapan perempuan ini di hadapanku yang seakan-akan ingin mengulitiku hidup-hidup. "Emang kenapa, sih?"

"Lo kenal sama Andira?" tanyanya dengan mata yang berbinar-binar.

"Kenal," kataku sambil tetap mendengarkan lagu. "Tapi, gak deket."

"Dia temen deket gue, tuh!" serunya kencang, membuat murid-murid yang lain menatapnya dengan pandangan berisik-banget-masih-anak-baru-juga. Perempuan itu langsung memberi tatapan memelas, sambil menggumamkan kata maaf.

Aku geleng-geleng melihat kelakuannya. "Suara lo, please. Toa pasar banget," ucapku tajam. Lalu, kembali mendengarkan lagu, tanpa memperdulikan keberadaannya.

Ternyata, kesialanku bermula sejak hari itu.

Aku tersenyum-senyum sendiri mengingat pertemuan pertamaku dengannya. Pertemuan yang seakan-akan mengubahku, walau secara perlahan. Ya, mengubahku menjadi orang yang sering berbicara, walaupun terkadang masih enggan untuk mengeluarkan suara.

Aku baru mengetahui namanya, setelah seminggu duduk bersamanya. Bahkan, aku tidak mau repot-repot bertanya kepadanya. Sadar akan hal itu, ia mengajakku berkenalan secara resmi.

Wonderwall [1/1]Where stories live. Discover now