Aktifitas menjemukan telah menjadi sebuah keseharian bagi semua orang dalam ruang lingkup sebuah bangunan bernama sekolah. Untuk seorang siswa yang mencari pengetahuan, atau itulah perkataannya. Setiap hari menuntut ilmu dari guru terkasih yang senantiasa memberi segala hal, termasuk hati –yang termakan akan kekesalan mengajarkan sesuatu yang sama, untuk ribuan kalinya dalam sebuah masa jabatan– bagi murid-murid tercintanya.
Itulah masa SMA. Pada awalnya, semua orang merasakan sebuah keantusiasan tersendiri akan suatu status yang telah melekat dengan nama "Siswa SMA."
Keren, baru, bangga, atau bahkan beban adalah salah satu perasaan yang hinggap setelah kita mendapati bahwa kita telah dewasa, atau setidaknya menjadi remaja yang sedang mencari jati diri, atau sekali lagi itulah perkataannya. Dan intinya, Awal jenjang SMA adalah sesuatu yang baru dengan ekspektasi berbeda-beda bagi kita semua.
Namun, itu hanya pada awalnya. Lalu, bagaimana dengan selebihnya?
***
Pagi.
Pagi bukanlah sebuah penghalang lagi bagiku untuk duduk terdiam di atas kasur. Faktanya, pagi adalah waktu di mana aku mencoba melawan magnet terbesar bagi manusia dalam beraktivitas, dan melawannya adalah suatu hal yang nyaris mustahil tanpa kesungguhan hati dan teriakan ibuku.
"Nak, bangun! Fina lagi nunggu di depan, tuh!"
Dengan lantangnya dia berteriak dari lantai bawah dengan membawa sebuah nama perempuan dalam ucapannya. Walaupun aku baru terbangun dari tidur, itu tidak mempengaruhiku dalam mengenali nama itu, nama yang sudah tidak asing di telingaku.
Fina? Ini baru jam enam, apa kita mau nyapu jalan dulu di sekolah?!
"Iya, bu!"
Aku menjawab dengan tinggi nada yang hampir sama dengannya.
"Buruan, kasihan itu Fina sudah rapi, kamu baru mau mandi! Dasar anak laki~"
Dalam sahutannya kali ini, Ibuku memberi ucapan yang bisa disebut gumaman karena perbedaan tinggi nadanya, namun cukup keras untuk aku dengar dari tempat yang berbeda. Apa itu masih bisa disebut gumaman?
"Iya, maaf kalau seorang Giri ini Laki!"
"Eh! Ngomong apa kamu?!"
"Enggak, ngelantur, bu!"
"Ya sudah, cepat sana!"
Sebuah alasan dan perintah mengakhiri saling sahut di pagi hariku kali ini. Sebuah morning show yang tidak biasa dan berbeda dari yang lainnya. Ini membuatku bertanya-tanya apa orang lain mengalami hal seperti ini? Apapun jawabannya, aku masih berpikir itu adalah hal yang tidak biasa.
Aku beranjak dari tempat tidurku –kasur bermagnet alami itu, dan pergi menuju kamar mandi untuk... aku yakin semua orang tahu.
Selesai dengan segala sesuatu sebelum bergegas keluar, aku mendapati Fina –temanku dari SD yang sedikit aneh dan menyebalkan sedang berdiri membelakangi rumahku dengan menyilangkan kedua tangannya di depan, melihat ke atas langit yang dikelilingi oleh awan-awan tipis. Aku mencoba berjalan di belakangnya dengan sangat santai dan tenang hingga aku berhenti tepat di depan punggungnya.
"Ada keperluan apa, mbak? Pagi-pagi berangkat kayak ngejar setoran aja."
Fina yang sebelumnya terpaku melihat ke atas seketika bergerak dengan refleks yang tak terduga menanggapi candaanku. Aku pikir dia akan meloncat dengan hebohnya dan terjatuh dengan dramatis, namun dia melakukan hal di luar ekspektasiku dan hanya bergetar diam di tempat dan membatu untuk beberapa saat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terselubung Awan
ChickLitGiri hanya seorang pelajar biasa yang lelah dengan ruitinitasnya sebagai siswa. Fina hanyalah seorang temannya yang selalu di sisinya di setiap saat. Mereka menjalani hari itu bersama-sama dengan perasaan yang berbeda. Menceritakan sepanjang hari Gi...