Kau adalah salah satu dari sekian Sandwich Generation yang tinggal jauh dari orangtuamu, sedangkan kekasihmu Jake merahasiakan kondisi keluarganya.
Rahasia Jake bukan masalah di gempuran era privasi seperti ini. Yang kalian prioritaskan di hubungan adalah harus bertahan, saling melindungi dan menopang, serta saling berkomunikasi positif sepulang kerja. Entah apalah jadinya kalau kau tidak pernah bertemu Jake di padat dan kerasnya hidup Jakarta Selatan.
Faktanya, hidup perkantoran sangatlah toksik. Tak dipungkiri banyak sekali faktor pekerjaan yang terbawa sampai mempengaruhi kehidupan internalmu dengan pasangan. Jake pun merasakan yang sama semenjak dia mengikuti jalanmu bekerja sebagai budak korporat, di bawah naungan PT yang berbeda.
Ketika kau mendapat teguran atas ketidaktelitian kecilmu sebagai wanita serba bisa, Jake di sisi lain juga jadi sasaran fitnah rusaknya hubungan rekan-rekan wanita dengan pacar mereka.
Ketika dirimu diberi tugas bertubi-tubi sampai pulang larut malam, Jake jadi target dengki karyawan senior karena Ibu atasannya selalu memudahkan kenaikan pangkat.
Hidup kalian yang dipermainkan gender mungkin identik dengan makna lirik lagu Taylor Swift "The Man", benefisial di satu seksualiti saja. Tapi percayalah tak satupun dari Jake maupun dirimu yang benar-benar terkesan dengan segala ujian yang datang.
Gaji ekstra tak sepadan dengan tubuh yang remuk dan sleep paralysis-mu yang mengganggu. Kenaikan gaji dan pangkat tak sepadan dengan seringnya Jake dihadang pria-pria yang mengaku pacar rekan kerja wanitanya.
Ketika salah satu dari kalian pulang lebih dulu, pasti yang bersangkutan langsung menyiapkan makan malam dan obat-obatan untuk yang datang terakhir. Jika tak sempat dan sama-sama kelelahan, biasanya tindakan diganti dengan apresiasi kecil sebelum tidur.
"Have you survived?" Tanya Jake, mengesankan bahwa doanya setiap hari tak muluk-muluk; kau bisa pulang dan istirahat selama 4-8 jam di ranjang sudah cukup, lebih-lebih dibolehkan pulang kerja sore.
Momen terindah dan terburukmu adalah ketika suatu pagi smoke alarm di kantormu berbunyi sehingga kau bisa pulang ke apartemen. Terburuknya sebab keesokan hari kau harus kerja banting kewarasan sampai jam 2 dini hari. Ah, Jake benar-benar benci dengan pengalamanmu yang barusan.
"Yeah, about to jump off the cliff actually, but I'd rather die on the bed while I'm peacefully sleeping." Jawabmu dengan wajah tak berekspresi.
"Fuck, I love the idea. Knowing I no longer have to face random ugly men pulling me and calling me small dick's boss' favourite." Eluh Jake sambil duduk di area meja makan, mengunyah salted chips-nya.
Dia masih pakai celana kerja meski atasannya sudah berganti ke kaus Under Armour abu-abu. Kaki ditekuk di atas kursi satu, sleeve-nya digulung sebelah menampakkan bisep pekerja keras.
Kau memutar bola mata, tak percaya dengan sebutan yang ditujukan oleh pria-pria insecure pada kekasihmu.
"They obviously don't know how big you are down there, babe."
"Thought so. Didn't know men can be so pathetic over losing their girls." Balas Jake lalu menuang cola ke dalam gelas.
Kau mendekat mengambil kemasan cola yang sisa separuh sambil menaruh blazermu di punggung kursi.
"Fuck all men." Kau mendesak Jake untuk melakukan cheers, tapi meralat kata-katamu yang barusan dengan cepat. "All men, but not my man, hehehe."
"Yea, fuck them anyways." Jake setuju dan tanpa banyak basa-basi menyatukan benda digenggaman kalian.
"Ahhh... coffee in the morning, cola at night, no proper breakfast, and now 1 a.m holy fucking dinner? What an attempted murder."
Jake tertawa keras sampai perutnya sakit. Leluconmu barusan benar-benar menggambarkan rutinitas buruk yang sulit kalian perbaiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐞𝐭'𝐬 𝐑𝐞𝐬𝐢𝐠𝐧: 𝐉𝐚𝐤𝐞
FanfictionJika kau dan Jake super sibuk dan punya sedikit kesempatan untuk melakukan kesenangan, apakah itu membuat hubunganmu platonik? Mungkin. Begitu sulit mencari celah untuk romansa bahkan di hari libur. Bahkan jika kalian mencoba, terkadang itu menjadi...