Aroma roti hangat yang gurih dan manis menjadi pengharum ruangan khas kafe favorit Lidya. Gadis berkacamata dengan pipi berisi itu menatap ke jendela kaca yang besar. Dengan secangkir cokelat hangat yang perlahan ia minum. Hela napas panjangnya menguar setelah menyesap sedikit cokelat hangat itu.
Dia mengalihkan pandang dari jendela menuju ponsel. Meraih benda pipih itu dengan wajah yang datar. Tatapannya rumit saat melihat ruang chat. Dia ingin menelepon tetapi diurungkan. Akhirnya Lidya memilih melakukan pesan suara.
"Reza, kayaknya kita udahan, aja. Aku kalah. Perasaan itu nggak akan tumbuh di hatimu. Jadi, lebih baik kita selesaikan aja permainan nggak berguna ini. Pacar palsu itu ... kita selesaikan di sini. Terima kasih udah kasih kesempatan untuk aku kenal kamu lebih jauh. Selamat tinggal."
Sebenarnya gadis itu ingin memblokir nomor itu. Tetapi, dia urungkan. Hatinya ingin melihat respon orang yang selama sebelas tahun ia cintai tanpa syarat.
Gadis itu semula ingin meletakkan ponselnya. Namun, benda pipih itu bergetar. Tidak. Bukan panggilan dari pacar palsunya. Melainkan dari editor. Lidya seketika menghela napas berat. "Anjirlah," makinya.
"Lid! Naskah lo gimana? Udah selesai? Hari ini deadline. Jangan bilang lo lupa."
"Udah, kok. Ini gue bentar lagi ke kantor."
"Naskahnya. Sesuai, 'kan?"
Lidya menghela napas sedikit usai mendengar kecurigaan orang di seberang sana. "Cewek periang yang galak, suka sama cowok basket. Iya, 'kan?"
"Ya itu, tapi alurnya? Singkat deh ceritain. Gue curiga sama lo nih. Jangan sampai endingnya tragis. Mentang-mentang penulis thriller," tutur editor yang sudah kenal benar bagaimana gaya kepenulisan Lidya. Suaranya terdengar sangat curiga terhadap gadis penulis genre thriller yang disuruh menulis genre romansa itu.
Lidya mencebik bibirnya. Dia tersenyum singkat. "Ya, palingan gue buat ceweknya punya ibu tiri yang patut dihujat tujuh turunan, bapak jahanam, saudara tiri nggak ada otak, terus waktu si cowok basket suka balik, si cewek pemeran utama mati ditabrak truk," jelas Lidya dengan wajah santai.
"Anjir! Astaga! Happy ending dong, Lid! Gue sama perusahaan butuh cerita happy ending lo! Bukan sad ending atau yang tragedi!" omel editor Lidya.
Gadis berkacamata itu hanya menghela. Kemudian, dia berdiri dari kursinya. "Gue jalan ke kantor," ucapnya.
***
Lidya mengemudikan mobilnya dengan santai. Mendengarkan lagu "kata mereka ini berlebihan". Sesekali menatap naskah dengan judul "Lily of the valley" karya yang dia tulis selama satu bulan penuh. Naskah yang akan menjadi comeback-nya setelah dua tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
LILY OF THE VALEY
Teen FictionPemeran utamanya mati di dalam novel. Ya, Lidya sengaja membuat akhir tragis itu untuk novel romansa remaja pertamanya. Namun, siapa sangka jika novel dengan ending tragis itu harus menjadi kehidupan keduanya? "Kalau di cerita ini, lebih baik jadi...