“Eh, sayang.”
Seorang remaja dengan seragam OSIS memarkir mobilnya di halaman sekolah, turun dengan senyum lebar, dan berjalan ke arah seorang gadis yang berdiri di sana. Tanpa ragu, ia merangkul bahunya.
Evellyn, yang merasa ada tangan memeluknya, langsung menoleh. Dia melihat Kevin berdiri sangat dekat, hampir di sebelahnya.
“K-Kevin? Kok kamu di sini?” tanyanya, sedikit panik.
“Kenapa, emangnya? Aku kan ke sini buat jemput kamu, sayang.” Kevin tersenyum, seolah tak ada yang aneh. Namun, tatapan matanya berubah saat ia melihat seorang pria berdiri di samping Evellyn.
“Sayang, dia siapa?”
Evellyn terlihat gelisah. Tanpa banyak bicara, ia menggenggam tangan Kevin dan menariknya menuju mobil.
“Maksud kamu apa sih, Lyn? Kenapa narik-narik aku? Dan cowok tadi itu siapa?” bentak Kevin, bingung dan tidak mengerti.
“Ssst, calm down, Kevin. Aku bisa jelasin…”
“JUST EXPLAIN IT, EVELLYN!!” serunya penuh emosi.
Evellyn terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bicara jujur.
“Dia… calon suami aku, Vin.”
Kevin terperangah. Ucapan itu seperti petir di siang bolong baginya.
“Apa yang kamu bilang, Lyn?”
“Iya... dia calon suami aku.”
Kepala Kevin mulai bergeleng-geleng, menolak kenyataan yang ada di depannya. Wajahnya memancarkan luka yang tak dapat ia sembunyikan.
“Kalau dia calon suami kamu, terus buat apa kita jalani hubungan ini sejauh ini, Lyn? Buat apa?!”
Evellyn hanya menunduk, air matanya mulai menetes. Ia juga terluka, namun situasinya terlalu rumit untuk disederhanakan.
“A-aku juga nggak mau hal ini terjadi, Kevin…”
“Licik kamu, Lyn! Tega banget kamu menghancurkan kepercayaan aku begini!”
“Dengerin aku dulu, Kevin…”
“Cukup!”
Kevin menarik napas panjang, menatapnya dingin. “Sekarang kita putus. Jangan hubungi aku lagi, apa pun yang terjadi.”
Kevin berbalik, meninggalkan Evellyn yang terisak di tempat. Hatinya seperti batu yang pecah, hancur. “Ngapain nangis? Kan kamu sendiri yang menghianati aku. Drama!” gumamnya sinis sebelum berjalan pergi.
Setelah Kevin menghilang dari pandangan, pria di samping Evellyn mendekat, mengusap punggungnya dengan lembut. “Kamu nggak apa-apa, kan? Dia nggak nyakitin kamu?”
Evellyn menggeleng, berusaha tegar. “Aku nggak apa-apa… lupain aja.”
“Yaudah, ayo pulang. Aku antar.” Pria itu—calon suaminya—mengajaknya pulang. Dengan motor yang terparkir tak jauh, mereka akhirnya meninggalkan tempat itu.
---
Di rumah, Kevin mengamuk. Barang-barang di kamarnya terlempar ke sana-sini, tak ada yang luput dari luapan emosinya. Hatinya terasa pedih, bagai luka yang tak kunjung sembuh.
“KENAPA KAMU TEGA, EVELLYN?! Padahal aku udah nabung buat pernikahan kita! Kenapa kamu hancurin semua ini?!” raungnya, suaranya memenuhi ruang yang kosong.
“Kevin!” Terdengar suara dari balik pintu kamarnya.
Kevin membuka pintu, dan di sana berdiri ibunya, dengan senyum lembut yang menghangatkan. Ia langsung merengkuh ibunya dalam pelukan, membiarkan tangisnya tumpah di pundak wanita yang selalu jadi penopangnya.
“Ada apa, Nak? Ada yang menyakiti kamu?” tanya ibunya sambil membelai kepala Kevin.
“Bu... Evellyn. Dia... dia mau menikah sama orang lain…”
“Haaah?!”
---
Kevin hanya terdiam, mendekap ibunya erat. Di balik setiap rasa sakit yang ia rasakan, ada harapan untuk bisa melewati semuanya dengan kekuatan yang tersisa. Hari itu, ia menyadari bahwa orang yang benar-benar mencintainya adalah seseorang yang selama ini ada di sisinya tanpa syarat: ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bimbang?!
Teen FictionKevin, seorang mahasiswa yang terkenal dengan sifat usilnya, selalu punya cara untuk menyempatkan diri mengganggu Nahla, dosen muda yang mengajar di kampusnya. Baik itu di ruang kelas, di lorong kampus, atau bahkan saat Nahla sedang bersantai di rua...