Semuanya sudah berakhir begitu saja. Seluruh anggota resmi Tokyo Noir Familia telah diringkus polisi, kecuali satu orang. Caine Chana. Sang kepala keluarga kedua, yang secara diam-diam menjalin kerjasama.
Seluruh anggota keluarganya dibawa ke penjara Federal, sementara dirinya berada di kantor polisi pusat.
Caine duduk diatas ranjang sel itu dengan tatapan kosong pada lantai, mengabaikan orang didepannya.
"Pak Caine? Kamu denger gak?" tanya orang itu, tidak lain adalah Makomi Sinclair.
"... Ini gak kaya yang kita janjikan Pak, ini gak kaya perjanjian kita," gumam Caine dengan suara kecil hingga Makomi tidak dapat mendengarnya dengan jelas.
"Maaf?"
"Ini gak kaya perjanjian kita, Pak Makomi." Ulang Caine dengan suara lantang, emosinya bercampur aduk, ia benar-benar kehilangan semuanya.
Makomi hanya menatap Caine datar, "Atleast kamu gak dijatuhi hukuman dan jadi bagian dari kepolisian."
Caine terdiam. Apakah Makomi mengira ia akan senang? Apakah Makomi mengira ia menginginkan keluarganya dipenjara dan akan segera dijatuhi hukuman mati? Apakah Makomi memikirkan dirinya yang kehilangan rumahnya? Satu-satunya tempatnya pulang ... sudah tidak ada.
"Pergi." Satu kata tegas diucapkannya tanpa ekspresi. Datar, dingin, sama sekali tidak ada kelembutan seperti yang biasanya ia terapkan pada keluarganya.
Caine kembali pada dirinya yang dulu.
Makomi menghela napasnya, "Kau tidak harus diam di sel ini, kau bisa—"
"Ku bilang pergi." Caine menatap tajam Makomi, siapapun tidak akan percaya, ini Caine yang sama yang selalu memberikan tatapan lembut itu. Caine yang dihadapan Makomi ini adalah Caine yang dulu, Caine yang dingin, datar, dan tidak peduli pada apapun lagi.
Makomi langsung pergi setelah mematung beberapa saat.
Caine hancur, ia benar-benar kehilangan semuanya. Keluarganya adalah segalanya, dan ia sudah kehilangan segalanya, ia sudah kehilangan dirinya, rumahnya.
"Maaf, ini semua salahku, Rion," gumam Caine.
Caine tidak menyadari sedari tadi seseorang memperhatikannya, bersandar pada jeruji besi sel nya yang tidak terkunci itu. Pria itu masuk dan menghampiri Caine.
"Ututututu lihat siapa yang akhirnya gabung sama kepolisian." Caine mendongak menatap datar pria itu, jengah karena sedari tadi ada saja yang mengganggu dirinya. Caine ingin tenang, ia ingin sendirian sekarang.
Kapan terakhir kali Caine merasa terganggu dengan kehadiran orang lain? Dengan gangguan dari orang lain? Dengan tingkah laku menyebalkan orang lain?
"Saya gak akan pernah gabung sama kepolisian, terutama jika kepolisian itu kalian, Pak Agil."
"Uishh gak usah dingin gitu dong, Mami Caine~"
"Jangan panggil saya seperti itu, anda sama sekali tidak berhak memanggil saya seperti itu," balas Caine dengan dingin dan menatap tajam Agil.
Balasan Caine membuat Agil tertawa, "Kan sekarang kamu bagian dari kepolisian, Caine. Ya jelas kamu jadi 'Mami' disini sekarang."
"Saya bukan bagian dari kepolisian." Tegas Caine sekali lagi.
Lagi, Agil tertawa sekali lagi. Agil duduk disamping Caine dan menatapnya dalam, langsung pada matanya.
"Cuma TNF nih yang dibolehin manggil kamu Mami? Curang banget, padahal rumah kamu disini sekarang. Buang jauh-jauh rumah lama kamu itu, mereka juga udah gak anggap kamu bagian dari mereka lagi, terutama Rion."
Mendengar itu membuat Caine tanpa berpikir panjang langsung melemparkan pukulannya pada wajah tampan Agil, tanpa menahan kekuatannya sedikitpun.
Agil terkejut dan tidak sempat menghindar, pukulan itu mengakibatkan ujung bibirnya berdarah. Agil tertawa.
"Kamu bisa jadiin kita rumah, gak harus mereka," ucap Agil sekali lagi sebelum meninggalkan Caine sendiri.
Caine memukul tembok di belakangnya dengan keras beberapa kali hingga membuat buku-buku jarinya berdarah. Ia marah, ia benci, ia muak pada dirinya sendiri.
"Gak bisa. Rumahku cuma mereka, dan sekarang aku udah gak punya rumah."
Air matanya turun, ia menangis tanpa suara, namun dadanya begitu sakit dan sesak. Ia memukul kepalanya sendiri, dan ketika hendak membenturkan kepalanya pada tembok, sebuah tangan menghentikannya.
"Caine, lu ngapain sih? Gak ada gunanya lu nyakitin diri lu sendiri!" seru Marcel, orang yang menghentikannya.
"Cel, aku- aku harus apa lagi Cel? Sumpah, aku gak masalah kepalaku yang dipenggal asal jangan mereka." Rasanya Marcel tidak sanggup melihat keadaan Caine saat ini.
"Gimana pun caranya Cel, aku mohon sama kamu, keluarin mereka semua dari Federal." Suaranya bergetar, sosok pendiam yang selalu berkepala dingin yang Marcel kenal itu sekarang hanyalah Caine yang seperti kehilangan arah dan terlalu panik.
"Dan bikin mereka jadi buronan? Hell no. Caine, gue tau lu panik, tapi coba tenangin diri lu dulu. Mana Caine yang berkepala dingin itu?"
Marcel mencoba menenangkan Caine, rasanya menyakitkan melihat sosok yang selalu menjadi penenang di keluarga, kini sehancur ini.
"Marcel, aku minta tolong sama kamu, gimanapun caranya, mereka semua tanpa terkecuali harus selamat."
Marcel menggelengkan kepalanya, "Percuma, Caine."
"Gue denger tengah malam ini bakal ada eksekusi besar-besaran di balai kota." Lanjut Marcel dengan sendu. Mendengar hal itu rasanya seluruh dunia berhenti untuk Caine.
Apakah benar-benar tidak bisa? Apakah ia benar-benar tidak bisa menjaga keluarganya?
"Itu-... itu masih tengah malam kan? Masih ada waktu, Cel. Kita masih punya waktu buat keluarin mereka dari Federal. Kita kirim mereka ke kota lain atau—" Suaranya bergetar, kata-katanya dibalas dengan jengah oleh Marcel.
"Caine, cukup. Gue tau lu gak mau keluarga kenapa-napa, begitu juga gue, Caine. Rion udah gue anggap sodara gue gimanapun juga, tapi gak gini Caine. Inget Caine, yang bikin situasi jadi kaya gini itu lu. Lu dan sifat naif lu itu, lu yang selalu bertindak sendirian dan egois, bangsat!"
Pecah sudah emosi Marcel, ia membentak Caine dengan suara tinggi. Itu hanya dapat membuat Caine diam membisu seribu bahasa.
Marcel menghela napasnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri dan melirik tangan Caine yang berdarah.
"Gak gini, Caine. Gak gini caranya. Tolong ikhlasin mereka, ya? Gue minta maaf."
Setelah mengatakan itu, Marcel pergi meninggalkan Caine yang yang hanya diam. Air matanya turun untuk kedua kalinya. Kali ini ia benar-benar sendirian, sudah tidak ada ketiga sahabatnya yang dulu selalu mendukungnya, sudah tidak ada keluarga tempatnya pulang, ia sudah tidak punya rumah.
Sakit, sakit sekali rasanya.
Sendirian itu memang sesakit ini, kan? Ini bukan perasaan yang asing baginya. Dulu sekali, sebelum ia bertemu dengan ketiga sahabatnya, sebelum ia bertemu dengan keluarganya, bukan kah ia selalu sendirian?
Tapi, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Apakah karena ia sudah kehilangan rumahnya?
Malam itu, ia sendirian, menangis dalam diam, mengulang kata maaf yang percuma berulang kali, menyalahkan dirinya, dan menyakiti dirinya sendiri.
Kemana dirinya akan pulang sekarang? Ia sudah tidak punya tempat untuk pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Kehampaan || TNF
FanfictionDirimu bagai malaikat, namun sayapmu telah patah. Hampa itu perasaan yang sangat familiar. Kesendirian itu seperti bagian dari dirimu. Hingga akhirnya, cahaya muncul dalam kegelapan. Entah sejak kapan dirinya terbiasa dengan kebisingan seperti in...