Perlahan aku menyesap cangkir yang berisi cokelat panas, dengan pandangan miring ke arah kaca sebelahku. Dinginnya hujan diluar membuatnya menyuruhku untuk masuk ke café. Aku memperhatikan seluruh ruangan café yang diisi oleh laki-laki dan perempuan dalam satu meja.
“Ah, andai saja 1 tahun lalu dapat terulang kembali,” ucapku dalam hati sambil menyesap lagi cokelat panas di hadapanku.
Hujan yang lumayan deras membuatku malas beranjak dari kenyamanan café ini. Ya, ini adalah café yang paling aku suka dan sering aku kunjungi di pinggiran kota London. Bangunannya membuat orang yang masuk kedalamnya ingin terus berada disana, kenyamanan yang dibuatnya memang sangat lah nyaman.
“Senyaman mata birunya yang indah itu.. Niall, bagaimana kabarmu?”
Aku tidak mendapat kabar darinya sejak audisi itu berakhir, dan Niall bergabung bersama boyband yang beranggotakan Liam, Louis, Zayn dan Harry dan tentunya Niall. Selama ini pun aku hanya melihat boyband itu di televisi, atau media lainnya, dan setahuku, boyband itu baru saja menyelesaikan Up All Night Tour-nya.
Satu café pun dikagetkan dengan nada dering ponsel ku, One Thing dari One Direction, dan ternyata dari Jane.
“Kenapa, Jane?” ucapku to the point.
“Dimana kau? Aku baru pulang dari café dan kau tidak ada dirumah.” Ucap Jane agak tinggi. Mungkin efek kelelahan. Ya, Jane bekerja disebuah café yang sama dengan Josh.
“Aku di café biasa, di ujung jalan.” Jawabku sambil melirik ke luar dan mendapati hujan yang menyisakan rintik-rintik.
“Oke, dan aku akan menyuruh Josh untuk menjemputmu—“
“Aku akan mampir ke supermarket sebentar, aku ingin membuat pancake, dan mungkin cokelat hangat. Oya, tolong beritahu Josh untuk membawa jaket ku, ada ditempat tidur.” Ucapku panjang lebar setelah memotong omongan Jane.
“K K,” kata Jane malas-malasan, terdengar desahan nafasnya dari seberang telpon.
“Sampai nanti! Jangan lupa jaketku! Bye!” ucapku mengakhiri telpon dari Jane.
Aku kembali menyesap cokelat panas yang ku pesan dengan mata sesekali melihat keluar café. Kalau-kalau Josh datang.
***
“Apa kau siap?” ucapku ke Niall, “Tentu, dan memang seharusnya begitu bukan?” jawabnya dengan balik bertanya. Aku hanya tersenyum sambil melihat mata birunya.
Ya, Niall akan mengikuti audisi X-Factor, dan Niall memaksa ku untuk ikut walaupun aku sudah menolaknya habis-habisan.
“Suaramu bagus, Nat. Jangan sia-sia kan kesempatan ini.” Selalu begitu ucapan Niall untuk memaksaku ikut X-Factor.
“Semoga kau berhasil menaklukan Simon Cowell dengan penampilanmu. Aku ada dibelakang panggung bersama Maura dan…” ucapanku tertahan dan berusaha memikirkan kata-kata yang pas untuk diucapkan.
“Dan apa?” tanya Niall, akhirnya ia bertanya.
“Jangan melupakanku jika kau sukses nanti, jika kau perlu apa-apa, kau masih punya aku, sahabatmu dari kecil yang selalu menemanimu.” Aku pun membuang nafas lega. Sepertinya aku berbicara tadi dengan menahan nafas.
Niall tertawa kecil, “Mana mungkin aku melupakanmu, Natalie? Kita sudah bersahabat dari kecil, ibumu dan ibuku juga sudah berteman baik. Tidak akan, Nat.” ucap Niall diakhiri dengan senyumannya.
Aku dan Niall memang sudah lama bertetangga saat kami di Ireland, sebelum aku memutuskan untuk tinggal sendiri di London lalu bertemu Jane dan Josh.
YOU ARE READING
Unpredictable - One Direction Fanfic (Indonesia)
FanfictionNiall tertawa kecil, “Mana mungkin aku melupakanmu, Natalie? Kita sudah bersahabat dari kecil, ibumu dan ibuku juga sudah berteman baik. Tidak akan, Nat.” ucap Niall diakhiri dengan senyumannya. Itu kata terakhir Niall kepadaku sebelum ia sibuk deng...