[Trigger Warning : Suicide]
Bintang berkelip tanpa hadirnya bulan. Meski begitu, malam tetaplah malam. Bahkan tanpa bulan, bintang pun tetap bersinar apa adanya. Semilir angin yang dingin juga mengiringi malam ini.
Seorang gadis dengan gaun tidurnya berjalan. Ia menyusuri jalanan sekitar. Rerumputan pada kakinya memberi sensasi tersendiri. Mata hijaunya yang indah mengarah pada danau buatan yang megah, sementara tangannya menggenggam lentera.
Kombinasi lukisan sempurna. Seorang gadis rupawan dengan surai salju berpadukan gaun tidurnya dengan langit malam tanpa bulan. Jika diriku ada di sana, aku pasti akan melukisnya.
Namun, apakah yang membuat wajahnya begitu muram? Apakah karena bulan tak hadir malam ini? Mengapa kau menatap danau yang tenang dengan tatapan kosong? Tidakkah bintang di langit cukup indah untuk dipandang daripada pantulannya pada danau?
Menundukkan tubuhnya, gadis itu melepaskan lenteranya. Dirinya bernyanyi. Bernyanyi layaknya burung. Tapi, nyanyiannya sangat menyakitkan pun mengesankan.
Kukira, hanya sampai di situ, belum selesai lagu yang ia nyanyikan, tubuhnya tak tahan untuk berdiam. Tanpa pasangan. Tanpa alat musik pengiring. Tanpa beban. Kau menari dengan lihainya. Bahkan suaramu tak bergetar karena tarianmu.
Oh, aku mencintainya.
Lalu, tariannya maupun nyanyiannya berhenti. Pandangannya terfokus pada danau, sekali lagi. Tubuhnya ia rendahkan. Jemarinya menyapa dinginnya air danau malam itu. Bibirnya terbuka dan ia berkata, "Akankah kau datang padaku, Pangeran Kematian?"
Yang selanjutnya seperti yang terduga. Dia menceburkan diri pada danau. Saksinya adalah aku yang menulis, kalian yang membaca dan bintang-bintang di sana. Tak ada pembunuh dalam cerita ini. Hanya ada kematian.
-
Kelopak matanya terasa sangat berat. Dia membuka matanya dengan perlahan. Pemandangan yang ia lihat adalah langit-langit putih dihiasi bintang palsu.
"Tuan putri? Anda sudah sadar!" Seruan dari seorang wanita paruh baya menginterupsi keheningannya dalam menatap langit-langit kamarnya. "Syukurlah, syukurlah! Mengapa anda melakukan hal itu!? Belum genap 4 hari anda melakukan percobaan bunuh diri!"
Bibir itu terbuka, "Aku melihatnya, Ami. Sang Pangeranku, dia berdiri di tengah danau. Aku harus menghampirinya, jadi..."
"Saya mohon! Hentikanlah! Anda sedang sakit Yang Mulia! Tolong, kasihanilah diri anda sendiri," potong Ami terisak. Tuan putri yang ia layani sakit. Namun, ia tidak sedikitpun mengakuinya. Dia menyatakan dirinya sehat. Tapi, manusia sehat mana yang mencoba melakukan percobaan bunuh diri karena melihat apa yang matanya ingin lihat?
Bangkit dari posisi berbaringnya, wajahnya merenggut. Dia membentak pelayannya, "AKU TIDAK SAKIT! TIDAK SAMA SEKALI! DIA HANYA MENUNJUKKAN WUJUDNYA PADAKU KARENA DIA MENCINTAIKU!"
Nafasnya terengah-engah. Tubuhnya bergetar. Amarah tergambar pada matanya. Kebencian keluar dari mulutnya. "Sosoknya sangatlah indah, sampai kata-kata tak bisa menggambarkan keindahannya. Rambutnya berwarna hangat, tatapannya sejuk dan suaranya memabukkan. Ah! AH! Bagaimana mungkin yang seperti itu ada di dunia!? Karena itulah, dia hanya ada untukku!"
Ami terdiam. 'Benar... Yang Mulia, anda sudah kehilangan kewarasan.'
Tanpa dirinya sadari, air mata sukses mengalir dari matanya. Kondisi Sang Putri yang telah ia besarkan sedari kecil, sudah tidak bisa terselamatkan. Sebenarnya sejak kapan begini? Sejak kapan Tuan Putrinya mulai sakit?
Ah benar...
Pada saat itu ya..Semua dimulai sejak kelahiran Pangeran kedua dan kematian Baginda Ratu. Yang Mulia Putri berduka. Sangat sebentar. Sebelum dia mulai mengoceh tentang melihat sosok yang sangat indah seperti yang dilakukannya sekarang.
Tuan Putri mengatakan melihat orang itu kalau ia mau menaburkan bunga yang tersisa sendiri pada saat anggota kerajaan lain sudah pergi. Sekembalinya beliau, ia mengatakan padaku hal itu yang merupakan pelayannya. Awalnya, aku tak mempercayainya. Seperti apa, ekspresinya kala itu? Aku lupa...
Ya, lalu setelah itu, dia mulai bertingkah aneh. Klimaksnya adalah percobaan bunuh diri pertamanya dengan melompat dari balkon. Sejak saat itu, Yang Mulia Putri diasingkan dan dikurung dalam mansion ini dengan banyak dokter. Sayangnya, para dokter menyatakan seperti apa yang diucapkan Tuan Putrinya, bahwa dirinya sehat.
Tuan Putriku yang malang... Apakah ada yang bisa kulakukan untukmu?
-
"Ah, sial. Ternyata aku masih hidup. Apakah masih perlu waktu lama, Pangeran? Ku mohon, jemputlah aku segera," ungkapnya kesal. Rambutnya yang lurus menjadi kusut. Wajahnya adalah akhir dari bulan.
Kekesalan berubah menjadi kesedihan. Ia kembali menyisir rambutnya. "Bagaimana ini, Pangeran?" Rintik hujan turun berbarengan dengan rintik air matanya. Tidak ada yang menanggapi. Terkadang, pandangan juga dapat menyakiti, tahu.
Walaupun dia seorang Putri, dia juga adalah seorang remaja. Dia mencari apa yang disebut cinta. Mengapa yang lainnya mendapat kesempatan dalam menggapai cinta mereka? Mengapa dirinya tidak? Apakah karena status Putri ini?
Pada akhirnya, apa yang kuinginkan ternyata sangat kecil. Aku tak butuh cinta dari orang lain. Hanya dari Pangeranku. Hanya dia. Cukup dia.
Sang putri meletakkan wajahnya pada pahanya. Dalam diam, ia menangis. Kemampuan yang sudah ia latih dengan hebat, sehebat seorang aktris yang ia tonton. Tubuhnya tenang, mulutnya diam. Namun, matanya berbicara.
"Tolong bebaskan aku, Pangeranku... "
-
Bumi terus berputar sejak hari itu. Percobaan pembunuhan diri Sang Putri masih berlanjut, walau tentu saja berakhir dengan kegagalan. Tapi ia tidak menyerah. Tidak menyerah untuk mati? Bukan. Untuk menikahi Pangerannya.
Tapi bukannya sama saja mati? Beda. Dia mengejar kematian karena kematian adalah cintanya. Bukan orang yang sudah menyerah pada hidup.
Mati tetaplah mati.
Yah, terserahlah.Tapi, kurasa endingnya sudah dekat...
Lelah karena segala percobaan bunuh dirinya digagalkan, Sang Putri menusukkan belati pada jantung Ami, pelayannya. Selanjutnya adalah dokternya. Terakhir adalah para ksatria yang diperintahkan untuk menjaganya.
Bau kematian menyengat dari mansion itu. Dress yang digunakan Sang Putri awalnya berwarna putih, kini telah berubah menjadi warna darah. Ia membawa lentera ke pintu depan mansionnya. Api dari lentera itu ia gunakan untuk menyalakan cahaya akhir. Syukurlah semua benda di sana penuh dengan benda-benda yang mudah terbakar.
Ia terdiam melihat api yang menyulut. Begitu api itu menjalar ke arah karpet yang ia pijaki, ia mulai menari. Api yang membakarnya tidak cukup untuk menyakiti dirinya.
"Aku datang, Pangeranku..."
END