01

44 9 6
                                    

Happy reading
Thank you for life, and thank you for yourself.
Enjoy aja pokoknya







Di suatu rumah panggung yang berjejer namun tak rapi








Tok... Tok...

Pintu kayu itu di ketuk dengan pelan namun terdengar nyaring.

"Nduk Iki Simbah!" Aku menyadari bahwa sejak tadi yang mengetuk pintu dari luar adalah Simbah, dengan bergegas aku berjalan menuju pintu depan.

Kreak...

Aku membuka pintu dengan perlahan, dan aku melihat Simbah yang sudah berdiri dengan menenteng rantang berwarna merah dengan corak bunga.
Sudut bibir ku terangkat lebar saat mata ku menatap rantang makanan yang di bawa Simbah.

"Cah ayu, sudah makan?"tanya Simbah dengan menatap sudut mata ku.

"Belum"sahut ku dengan jujur.

"Ini Simbah sudah masakin makanan kesukaan mu, kita makan sama sama ya"

Aku menganggukan kepala ku sebagai isyarat mengiyakan, aku membantu Simbah untuk membawa rantang, dan langsung menarik ujung pintu dan menguncinya.
Simbah pergi ke dapur untuk mengambil beberapa piring, aku duduk di lantai yang beralasan tikar yang tidak terlalu besar.

Simbah duduk di samping ku dan langsung membuka beberapa rantang yang berisi lauk dan nasi yang masih hangat. Simbah mulai menyiapkan makan untuk ku,
Aku tersenyum kegirangan entah kenapa? Mungkin karena hari ini aku dapat makan makanan enak, biasanya aku hanya makan singkong bakar atau apapun yang bisa menahan rasa lapar ku.

Aku begitu puas saat bisa makan dengan lahap, Simbah menatap ku dengan tersenyum yang membuat kantung mata nya melebar, ritual makan malam hari ini begitu istimewa walaupun hanya berdua tapi ini sudah membuat ku merasa senang.

10menitan aku selesai makan, aku berdiri untuk membantu Simbah beres beres, aku mengambil beberapa piring kotor yang ku gunakan untuk makan tadi.

"Nduk, Simbah pulang dulu, kamu hati hati di rumah ya" ujar Simbah berpamitan yang membuat ku sedikit sedih.

"Dahayu antar ya mbah"

"Wes..., Gak usah, kamu di rumah saja."

Aku menganggukan kepala ku dengan berat hati, Simbah kemudian mulai berjalan pergi meninggalkan ku sendiri yang masih menatap punggung Simbah yang perlahan mulai menjauh dan sudah tak terlihat lagi di mata.

Aku melangkah masuk ke dalam rumah dan langsung mengunci pintu nya, aku berjalan menuju kamar, aku duduk di pinggir ranjang sambil menatap ke arah jendela untuk melihat samar bulan yang lumayan menerangi kota Banyuwangi malam ini.Dengan tatapan yang sulit untuk diriku mengartikan nya, entah ada apa dan mengapa dengan lancang nya air mata mulai mengalir tanpa izin dari ku.

Aku mencoba untuk menyeka air mataku, namu itu hanya sia sia, bibir ku mulai bergetar saat aku mencoba menahan isakan
Tangisan ku sendiri. Aku menutup wajah ku dengan kedua telapak tangan ku, wajah ku mulai basah akibat air mata yang terus mengalir melewati pipi kiri dan kanan ku.
Aku menunduk kan kepala ku untuk menutupi kesedihan ku.

"A-andai a-aku tak sendiri, mungkin aku ti-tidak akan menangis"ucap ku dengan diiringi isakan tangisan yang begitu pedih.

********

Laut Menangis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang