Rok panjangnya terasa lebih lebar, membuat langkah Syifa terasa ringan pagi ini. Nadhira, temannya itu baru saja mencoba resep baru untuk cake-nya semalam. Dan seperti biasa, dengan baik hati Nadhira menawarinya untuk membawakan hasil uji coba yang ia lakukan itu hari ini.
Untuk niat mulia tersebut, Syifa tentu saja akan menerimanya sepenuh hati. Karena ia sendiri tau, semua resep yang Nadhira coba selalu berakhir tanpa membuat lidahnya kecewa.
07.50.
Ia akan sangat terlambat jika saat ini merupakan 2 tahun yang lalu. Seusainya masa abu-abu, Syifa berhasil masuk kampus yang ia cita-citakan dengan mudah berkat ketekunannya mengais nilai-nilai terbaik. Semuanya bersuka, pun dengan ayahnya. ‘Syukurlah,’ begitu kalimat singkat yang Syifa terima dari sang Ayah. Barangkali kalimat itu benar-benar menghancurkan ekspektasi Syifa bahwa akan ada kata lain setelahnya, atau satu kata berbeda yang akan diucapkan ayahnya kala itu.
Dan kala itu yang berhasil sedikit, ia rasa, merubah cara berpikirnya saat ini.
Ia tidak terlambat tapi bisa dikatakan tidak begitu. Kursi kelas hampir terisi penuh ketika ia memasuki ruangan. Tidak heran memang, kursi-kursi yang diraih dengan kesungguhan itu akan terus mamacu kobaran mereka untuk mendapatkan hal-hal terbaik di masa mendatang. Bahkan setelah menginjak akhir semester 4 ini, Syifa tidak pernah menemui teman-teman sekelasnya itu terlambat lebih dari 5 menit dari jadwal yang telah ditetapkan, kecuali ada hal yang tidak mereka harapkan.
Bibirnya tertarik simpul begitu saja. Berbanding terbalik dengan Nadhira yang baru masuk dengan mendesah. Langkah pendeknya ia buat cepat untuk segera sampai ke arah bangku di sebelah Syifa.
“2 menit!!” Mata bulat itu memelototinya, 2 ujung jari Nadhira sedikit menghalangi pandangan Syifa. Dekat sekali hingga ujung jari itu hampir mengenai alis tebalnya.
“Kamu nggak ada niatan nongkrong dulu di parkiran, hah?!”
Syifa hanya terkekeh, menurunkan tangan Nadhira, “Mau nyolok, ini.”
Entah ambisi aneh apa yang temannya itu pertahankan. Sejak awal mereka akrab, Nadhira selalu ingin sampai kelas lebih dulu dari Syifa. Lucunya, apa pun usaha Nadhira, tidak membuat keberuntungan berpihak padanya.
Nadhira mendecak sebal. Menurut. Ikut duduk di samping Syifa. Tangannya yang lain menyodorkan paperbag mungil berwarna biru pastel, senada dengan kemeja yang Nadhira sendiri kenakan.
“Resepnya aku dapet rekomendasi dari temenku yang di Tele. Katanya coklatnya itu bakal lumer kalau pake teknik ini. Dan pas aku coba, kamu tau apa?” matanya melebar menunggu jawaban Syifa.
“Bener-bener lumer,” Syifa mengangguk.
Nadhira bertepuk tangan kegirangan. “Bener banget!!”
“Tebakan kamu emang nggak pernah salah, Syif!” Lanjutnya mengangguk mantap.
Syifa tertawa. Nadhira memang pelupa. Ia hampir melupakan segala hal yang ia sendiri lakukan, kecuali tentang teori-teori yang ia gunakan untuk merangkai essay-nya. Padahal baru semalam Nadhira menceritakan hal ini dengan antusias yang sama kepada Syifa. Tentu saja tebakan yang ia lontarkan pagi ini tidak termasuk.
“Makasih, ya,” ucap Syifa sembari tersenyum.
“Buat gantinya, besok ajak aku main ke rumah, dong! Besok kan cuma sampai siang,” Nadhira menaik-turunkan alisnya. Membujuk
“Iya, nanti aku request ke Ibu buat masak opor. Ada masukkan lagi?” Syifa balik mengangkat kedua alisnya tinggi.
Nadhira menggeleng. Senyumnya melebar. Terlampau girang mendapatkan reaksi yang ia harapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dean?
Teen FictionMengenal Dean? Jangankan mengenal, mengetahui ada manusia berwujud Dean saja tak pernah Syifa perkirakan akan terjadi dalam hidupnya. Tapi mungkin hal itu merupakan harapan yang temannya, Nadhira itu pikirkan. "Antingnya bagus. Rambutnya juga cantik...