Ruangan sepi.
Lin duduk di meja belajarnya, membuka laptop, memutar musik lalu mendengarkannya lewat headset.
Ia menarik nafas perlahan-lahan sambil memejamkan mata dengan rileks..
Merasakan tiap nafas yang bisa ia hirup lewat hidung dan mulutnya. Menyesap dinginnya udara berhujan yang semakin melenakan.Kakinya melebar dibawah sana, sedikit menjinjit untuk membiarkan tangannya menyusuri tiap jengkal kulit pahanya yang terasa dingin bagai besi gagang pintu perpustakaan yang sepi pengunjung. Mengelusnya lembut, merasakan geli menggetarkan perutnya hingga ke ubun-ubun. Bibirnya terkulum menahan desakan hangat yang sejak tadi ia tahan, tatkala kini ia mulai membelai setiap helai pada permukaan kulitnya.
Terasa hangat hingga ke dada. Berdenyut mengalir ke otak, merasakan sensasi bebas yang menggirinya lebih ke tengah.
Telunjuknya perlahan menekan bagian pusat, Lin berjengit mendapati sensasi kesemutan itu, jari-jari kakinya terkulum. Dengan instingnya ia mulai menggerak-gerakkan telunjuknya hingga semakin cepat dan terasa tak bisa lagi ia tahan desahan yang membuncah.
Lin semakin mengeraskan musik, nyaris suaranya menembus headset yang ia kenakan. Ia tak peduli tuli. Pikirannya terlalu penuh untuk mempedulikan segala hal. Ia terlalu kosong dan hampa sebagaimana tubuhnya yang kini tak berbalut apapun.
Dengan senyumnya yang puas menggerogoti tubuhnya sendiri, Lin berbaring terlentang dengan kaki terbuka lebar-lebar. Ia tertawa-tawa.
Sambil menggigit jari, Lin meletakkan telapak tangannya di bawah sana, lalu menepuk-nepuknya, lalu menggeseknya nikmat. Matanya terpejam seraya menutupnya dengan bantal. Ia lebih menikmati ketika matanya tertutup.
"Ah...ah..ah...... Hemm..." Nafasnya naik turun di perut, membiarkan denyutan dari bawah yang mengalir ke tiap syaraf tubuhnya.
Lin ingin lebih. Ia ingin sesuatu yang bisa masuk lebih dalam ke sana. Ia ingin lebih dari hanya getaran tapi gerakkan.
Ia terduduk merutuki nasibnya yang sendirian di usia 24.
Setelah membersihkan tubuhnya, Lin berjemur di balkon. Meresap sinar matahari siang di kota kecil yang seumur hidup ia tinggali ini. Kopi yang ia sedap sedari tadi telah tandas dengan sisa ampas tebal di cangkir.
Matanya memicing iri menonton kehidupan orang lain yang tampak semarak di sosial media. Sementara ia yang tak peduli dengan pencapaian besar, hanya hal-hal sederhana pun tak mampu memilikinya.
Jika tak ada yang mau menikahinya, maka pacar pun boleh, asalkan ia punya teman seks. Ia tak begitu mengharapkan dicintai sampai mati, karena baginya pernikahan pun akan tetap menjemukan setelah beberapa tahun berlalu. Cinta hanya dongeng di dunia nyata.
Tapi bahkan, itu pun tak bisa ia miliki. Sekedar menikmati seks pun ia tak punya rekan. Berujung ia melakukan hal gila yang tak pernah ia fikir akan dilakukannya, tidak setelah ia menonton serial Netflix. Sangat mengilhami seseorang yang kepengen tapi tak mampu seperti dirinya.
Ia bahkan heran, bagaimana bisa anak dibawah umur bisa merasakan seks, bagaimana bisa orang hamil diluar nikah, apa yang mereka lakukan sampai bisa melakukannya, apalagi yang lebih diluar nalar... Para 'mereka' yang anak santri, sudah berkeluarga, dan mereka-mereka lainnya yang diberi kesempatan memuaskan rasa penasaran dan nafsunya.
Dan mengapa ia tidak.
Setidak adakah yang menginginkan dirinya??
Tak ada yang peduli kah dia ada, dia ingin diinginkan bahkan jika itu sejenak sebagai pemuas, pelampiasan, atau sekedar jalani saja dulu tanpa kepastian.
Mata bengkak Lin menyudut ke kiri, memusat pada burung-burung yang terbang berkelompok dalam satu arah. Ia menyeringai menahan gejolak emosi yang mendadak merayapi pikiran beratnya. Jantungnya berdegup kencang, terasa sesak menghimpit paru-paru.
Sesaat ia melamunkan kematian
Seperti biasa yang ia pikirkan mana kala sendirian
Apakah setelah tiga hari orang-orang akan tetap mengenangnya? Ataukah hanya kenangan buruk tentangnya yang akan terus menggema seperti kepergian ayahnya?"Haruskah aku coba merokok?" Gumannya pelan sembari mengutil-ngutil ujung kukunya yang rapuh hampir patah.
"Hm"***
Diantara rak-rak buku setinggi dagu yang berjajar rapih menyempit dalam ruangan serba putih, mencuatlah satu kepala dari bagian terbawah rak sambil sedikit mengeluh kakinya yang kesemutan terlalu lama berjongkok. Tapi semuanya sepadan dengan hasil yang ia temukan. Novel yang selama ini ia incar ternyata masih ada.
Ia cengengesan mengingat siapa orang yang menginformasikan padanya keberadaan buku tersebut.Setelah itu ia kembali memutari seisi sisi rak novel lainnya, mengambil dua buku lainnya yang sepertinya asik berdasarkan sinopsis.
Tak lupa sebelum turun ke lantai satu untuk membayar, tak lupa ia upload stori Instagram. No caption, hanya foto rak-rak buku dengan alamatnya. Puas dengan hasilnya, ia bergegas turun dengan langkah riang. Ingin segera membaca buku yang menurutnya sepadan dengan harganya.
Sambil menunggu kasir memproses bukunya, ia melihat ada satu orang diantara beberapa penonton storinya. Masih disana, dengan foto profil yang sama, tetap berdiam diri menjadi penonton dan tak lagi mengajaknya bicara.
Disudut hatinya sedikit merindukan orang gabut yang kerap memanggilnya Alya. Walaupun gaya ketiknya agak kurang nyambung, agak egois dan blak-blakan. Tapi dia lumayan sebagai teman anti gabut.
Dia bisa saja mengajaknya bicara duluan, mungkin, sekedar hi. Tapi tidak ia lakukan. Untuk alasannya yang ia pun tak paham kenapa.
Ia pun sama-sama tak bergeming dengan pilihan pasif.
Saat itu toko buku memutar playlist Billie Eillish, Ocean Eyes. Ia tak begitu hebat soal bahasa inggris, tapi ritme dan suara Billie serasa merasuk bersama momen semenit yang menggamangkan benaknya.
Lamunannya buyar oleh suara mesin struk "Permisi kak... Ini kembaliannya, terimakasih dan datang lagi ya kak"
Pria bertubuh agak kurus itu mengerjap mengembalikan kesadarannya. Ia tersenyum. " Terimakasih kembali kak" ia tersenyum membalas keramahan kasir perempuan tersebut sambil mengagumi manisnya senyum si kasir.
***
Petikan gitarnya menyambut sedih hujan yang mengguyur tanah pekarangan rumahnya. Wajah datarnya tampak muak dengan segala yang ia lihat. Rasanya ingin marah, tapi terlalu malas untuk marah. Rasanya ingin sedih, tapi terlalu malas untuk bermuram durja tidak jelas. Tapi tidak ada pula kemampuan untuk menertawakan hal konyol kecuali satu hal yang menghantuinya sejak informasi yang ia dengar semalam.
Gadis yang incar, ternyata sudah dengan yang lain. Dan itu entah siapa tapi tampan. Walaupun dia masih merasa masih bisa lah saingan perkara cakep.
Kontrak kerjanya sudah habis, jadi makin bingung mau kemana kalau galau begini.
Ujung-ujungnya berselancar di dunia maya.
"Day ke-?"
Ia tersenyum melihat reply Lin atas postingannya semalam.
"Last day" jawabnya.
"Why Hans?"
"Habis kontrak"
"Oh kirain"
"Chill"
Lalu usai.
Percakapan mereka selesai.
Padahal sedikit harapnya ada lanjutan walau basa-basi.Matanya menatap dalam rintik hujan di ujung atap seng berkarat. Sambil menggumamkan nada-nada yang beradu dengan petikan jemarinya. Hidup terlalu membosankan tanpa cinta baginya.
Sekali menyelam dalam perhatian seorang perempuan, sulit lepas darinya."Haruskah?"
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Telusur
RomanceKisah cinta kita memang biasa, tapi kaulah yang ku temukan diantara banyak orang yang bisa menerima aku apa adanya.