3.5

21.9K 1.3K 2
                                    

A/N:

Kenapa author's note kali ini di depan? Ya suka-suka gue. Becanda. Cuma pengen kasi tau. Ni chap cuma kaya tambhan, di skip juga gpp. Pengn kasi tau aja gimana reaksi dari Floyd dri chap 1. Sorry buat lama update + short chap T-T janji lusa update *peace* #mogamoga

Makasih juga buat 200+ viewers :'D

Enjoy :D

∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆

[ Floyd's POV ]

Aku tertawa sambil duduk di sebelah Jack. Minuman kaleng yang kubuka kuteguk setiap beberapa saat sekali. Aku melirik sekitarku, berusaha menemukan sosok Carol dengan hasil nihil. Ia tak terlihat dimana pun. Aku menghembuskan napas pelan.

"Jadi, kau masih menyukainya?" Tanya Jack tiba-tiba, melenceng dari apa yang kami bicarakan sebelumnya.

"Tentu saja." Jawabku tanpa berpikir. Aku memandang sekeliling dengan tatapan kosong.

"Dude, kau benar-benar kacau." Ia berucap sambil menepuk-nepuk bahuku, berusaha menenangkanku walau sebenarnya tak ada efek. Aku menepisnya perlahan, berusaha untuk tidak terlihat lemah.

"Aku tahu." Aku meremukkan kaleng di tanganku.

Aku berdiri dan bermaksud untuk membuang kaleng bekas minumanku ketika aku merasakan seseorang menabrakku dari belakang. Satu lagi orang bodoh yang tak pernah melihat kemana ia melangkah.

"Lihat, itu dia anak barunya..."

"Sekaya apa dia sampai bisa masuk di tengah semester seperti ini?"

"Tak usah ditanya, mungkin orang tuanya salah satu pemegang saham di dunia."

"Ya, kalau tidak sekaya itu mana mungkin ia bisa masuk langsung di tengah semester seperti ini."

Anak baru? Ada anak baru di tengah semester seperti ini? Ia hampir saja berjalan melewatiku ketika aku menahan dan menyeringai ke arahnya. Enak saja. Ia bahkan tidak mengucapkan 'maaf'.

"Tunggu, kau si anak baru yang sedang diperbincangkan itu?" Ucapku sambil memegangi pergelangan tangannya. Ia positif anak baru. Aku sama sekali belum pernah melihatnya dimana pun. Kalau ia orang kaya dan terkenal kenapa aku belum pernah melihatnya?

"Ya." Jawabnya dengan sangat singkat. Serius kah? Rambutnya masih saja dikepang dua? Dan juga kacamata aneh apa itu? Aku mengerutkan dahi dan hidungku tanpa kusadari. Apa gadis ini benar-benar dari keluarga orang kaya? Ah, aku tak percaya.

"Tolong, lepaskan tanganmu. Itu menjijikan." Ucapnya tiba-tiba. Aku menatapnya terkesiap. Belum pernah ada orang yang mengatakan hal seperti itu kepadaku, apalagi seorang perempuan. Oke, ada. Adikku pernah mengatakannya sekali. Tapi sudah, hanya dia. Dan sekarang ditambah dengan anak baru ini.

Jack dan Frans di belakangku bersiul pelan, membuat orang-orang semakin memperhatikan kami. "Apa? Oh, maksudku aku harus segera ke kamarku dan menelepon orang tuaku. Mereka mudah cemas, kau tahu. Haha.." Ia tampaknya juga tak percaya baru saja mengatakan hal seperti itu kepadaku. Lalu ia berusaha menutupinya dengan tawa yang sangat buruk di akhir kalimat. Aku tersenyum lebar dan melepaskan peganganku. Meledeknya akan menjadi benar-benar menyenangkan. Aku suka dengan respon tak terduga. Tapi bukan sekarang, mungkin lain kali.

Ia segera berlari ke lift untuk menjauhiku. Pintu lift hampir menutup ketika aku berteriak yang disusul dengan siulan pelan.

"Kita akan bertemu lagi, Babe?"

Jack dan Frans tertawa.

"Gadis itu benar-benar sesuatu. Masih mengepang dua di saat seperti ini? Yang benar saja?" Komentarku sambil tersenyum.

"Hei, kau tak boleh jahat begitu." Tanggap Frans sambil tertawa kecil.

"Tapi kau harus mengaku apa yang kukatakan itu ada benarnya." Aku menyeringai.

"Ya ya, kau benar." Ucap Frans pada akhirnya.

Kami bercanda seperti biasanya. Hanya melemparkan komentar tak penting pada ini itu. Tiba-tiba saja, Jack meremas bahuku dan berbisik pelan. "Floyd, itu Carol."

Aku melihat Carol sedang bersender manja di bahu Clark. Dan Si Bajingan itu membelai pelan rambut Carol. Apa sih yang mereka pikirkan? Bermesraan di depan umum begitu?

Dengan geram aku bangun dari tempat dudukku bermaksud untuk menghampiri mereka. Mungkin juga untuk menambahkan beberapa tanda biru di wajah Clark.

Frans dan Jack menahanku dari belakang. Aku tahu. Aku tahu jelas Clark melihatku. Aku tahu jelas dia akan menyakiti Carol. Kenapa Carol begitu buta?

"Floyd, kita di depan umum." Desis Frans.

Aku menghempiskan tangan mereka dan mendesis. Aku bisa bersumpah kalau tadi Clark sempat melirik kesini.

"Mati kau, Bajingan licik." Umpatku. Tanpa memperdulikan Frans dan Jack, aku langsung masuk lift untuk segera pergi ke kamarku.

××××××

"Sedang apa kalian di depan pintu kamarku?" Aku mengerutkan alis.

"Oh, Mr. Johnson, tepat sekali. Mulai sekarang sampai perbaikannya selesai, kalian akan menjadi teman sekamar." Ia melihat jam tangannya. "Jika kalian mengizinkanku anak-anak, aku mempunyai pertemuan untuk dihadiri." Suara melengkingnya membuatku semakin kesal.

Teman baru? Nerd ini teman sekamarku? Ah, yang benar? Aku menyeringai dalam hati.

Ketika ia mau membuka pintu, aku segera menyambarnya duluan. Aku membuka pintu dan menahannya agar ia bisa masuk.

"Silahkan masuk, Princess." Ucapku.

Ya, aku adalah seorang gentlemen yang terpelajar. Dan aku tahu cara memperlakukan seorang wanita, apalagi kalau dia adalah seorang nerd.

Ia menebarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Untung saja aku baru membereskan ruanganku.

"Setidaknya ucapkanlah terima kasih kepada orang yang berniat baik di sebelah sini." Gerutuku sambil melempar diri ke sofa.

"Hey, Floyd, apakah kita bisa bertukar ruangan?" Ia menatapku setengah memohon.

"Apa? Tentu saja tidak." Aku berdecak. Enak saja, aku baru saja membereskannya. Lagian untuk apa ia meminta untuk bertukar tempat? Aku tak habis pikir.

Ia mendesah dan segera membereskan isi kopernya. Aku menatap langit-langit untuk sesaat sebelum akhirnya teringat alasannya untuk segera menjauh dariku tadi.

Aku membuka tirai dengan tiba-tiba dan bertanya kepadanya."Kau tidak jadi menelepon orang tuamu sekarang?"

"Oh," ia mengedip beberapa kali dan tertawa grogi. "Terima kasih untuk sudah diingatkan." Ucapnya kemudian. Aku tersenyum semakin lebar yang sebenarnya lebih mirip seringaian sebagai balasan.

Ia merogoh ponselnya dan menelepon. Saat ia menyadari aku masih saja menatapnya, ia menarik tirainya untuk menutupi. Aku tersenyum kecil, mungkin ia hanya berpura-pura, mungkin sebenarnya ia tak menelepon siapa pun.

"Pembicaraanmu dengan ayah tercinta sudah selesai?" Aku duduk di kursinya.

"Sudah." Jawabnya singkat.

"Aw, jangan menjadi begitu ketus." Ucapku sambil menyeringai pelan. "Tapi tak masalah, aku suka wanita ketus. Mereka biasanya sangat hebat ketika bercinta." Aku mengedipkan mata.

Ia mendesah pelan, seolah berusaha tidak peduli. Tapi aku bisa melihat warna pink yang mulai merambat ke pipinya

"Terserah apa katamu." Ucapnya.

Bermain-main dengan gadis ini akan jadi sangat menyenangkan, ucapku dalam hati.

Nerd? Nahh...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang