Sebuah mobil hitam membelah jalan sepi, hitam malam kian bertambah pekat ketika mobil itu mulai menjauhi pusat kota.
"Siapa namamu?"
Setelah lama terdiam, laki-laki yang masih memusatkan pandangannya ke depan itu mengajukan pertanyaan.
"Anthana, kau?" pemuda remaja itu balik bertanya.
Hening.
Tak ada jawaban, pria yang duduk di kursi kemudi itu fokus menyetir.
Anthana menatap pantulan wajah pria bermata kelam tersebut lewat spion depan, pemuda mungil itu penasaran, kemana laki-laki didepannya akan membawa dirinya. Pria itu mendelik sejenak, yang membuat Anthana segera menundukkan pandangannya.
"Dewa..." Jawabnya.
Anthana mendongak, "Dewa ...? Namamu?" tanyanya lagi.
Pria bernama Dewa itu mengangguk.
"Ya, aku tanya sekali lagi. Apa kau benar-benar mau ikut denganku?"
Anthana mendengus, ia bingung kenapa sedari tadi Dewa selalu menanyakan keyakinan tekadnya. la sudah sering berhadapan dengan orang jahat, seperti paman dan bibinya, oleh karena itu Anthana yakin kalau Dewa ini pria baik.
"Iya, aku benar-benar ingin ikut denganmu Dewa. Aku hanya punya kau ..."
Dewa tersenyum tipis, ia membelokkan mobilnya secara tiba-tiba. Memintas jalan, menyelusuri jalan setapak tanah yang tampaknya sudah sering ia lewati.
Anthana sedikit tersentak saat Dewa membanting setirnya ke kiri."Aku pegang ucapanmu, Anthana."
Mobil Dewa berhenti, ia membuka dashboard mobilnya. Mengambil sebuah serbet disana.
"Keluarlah, kita sudah sampai."
Dewa menoleh ke belakang, sambil menyodorkan serbet berwarna hijau ke hadapan Anthana.
"Tutup matamu," ucap Dewa lagi.
Anthana menurut, meski ia bingung kenapa ia harus menutup mata. Dengan perlahan Anthana mengikatkan serbet tersebut ke matanya. Serbet bau obat itu seolah mengambil paksa kesadaran Anthana, akhirnya pemuda bergigi kelinci itu tak sadarkan diri.
✨
Anthana mengerjapkan matanya, nuansa cat putih tulang segera memenuhi setiap sudut penglihatannya. Ruangan itu terlihat lapang, hanya ada sebuah ranjang serba putih serta sebuah laci yang di atasnya terdapat sebuah piring berisikan makanan.
Pintu terbuka, sontak Anthana menoleh ke arah Dewa yang berjalan masuk mendekatinya.
"Makanlah, kau pasti lapar, 'kan?" ucap Dewa, ia duduk di ujung ranjang tempat Anthana terbaring.
"Kepalaku terasa pusing, kenapa? apa aku pingsan?" Anthana mencoba bangkit dari posisi berbaringnya.
"Ya, aku membiusmu tadi..." Jawab Dewa.
Anthana mengkerutkan dahinya, "membiusku? untuk apa?" tanyanya polos. Dewa menatapnya datar, "karena, kau tak boleh tau tempat ini." Dewa kembali berdiri, "makanlah, kalau sudah selesai nanti. Kau boleh berjalan-jalan, sekarang rumah ini rumahmu." Dewa menatap Anthana sekilas, lalu setelah itu ia segera melenggang keluar.
Anthana menatap sekeliling ruangan, ruangan yang terasa lembab dan sedikit pengap itu membuat dia sangat penasaran. Terlebih alasan kenapa Dewa sampai membiusnya demi kerahasian tempat ini.
Tak mau ambil pusing, Anthana menjangkau piring di sampingnya, piring itu berisikan spagetti yang masih hangat. Anthana menyantapnya dengan lahap, tanpa berpikir kemungkinan kalau saja makanan itu beracun.