BAB 0
Saatnya Kamu Tinggal𐦍༘⋆
"Ahyeon, lihat apa yang aku bawa!"
Di ambang pintu aku menyahut. Lepas dari tubuhku dua objek; sepatu dan mantel musim dingin. Dua plastik kecil berisikan tanghulu kugenggam. Kusapu puncak kepala yang terhujani butiran salju. Nihilnya sahutan balik Ahyeon dirasa aneh. Namun lega kudibuat, ketika mengingat kepulan asap dari cerobong yang kulihat sebelum masuk ke rumah tadi, serta suara percikan api perapian yang baru saja kudengar, mengindikasikan seseorang di rumah. Pastinya Ahyeon.
"Ahyeon?" Sekali lagi kupanggil namanya.
Derap perlahan kuambil pada lantai ulin rumah tradisional peninggalan Ayah. Kaos kaki hangat biru muda yang kupakai tidak sepenuhnya memisahkan jarak antara kulitku dan dinginnya Chuncheon. Kutetap berjalan, diiringi dengan suara beriak plastik yang kubawa. Semakin lama semakin mengenyit, saat melihat tetes demi tetes cairan merah tua di lantai kayu rumah, dan berakhir pada genangan cairan merah segar di dekat perapian, yang berasal dari kamar mandi.
Dua plastik tanghulu lepas dari genggaman, usai pemandangan di depan kutemukan.
Seringaian berdarah Jung Ahyeon terpatri dengan lebar. "Kakak bawa apa tadi?"
Bangkai. Terpotong banyak bagian. Cairan. Merah kental. Menyembur ke wajahnya. Potret itu terpatri di benakku, sementara kerasnya dentum jantungku. Kaku tubuhku, lemas kakiku, belalaklah mataku. Di sekitar kamar mandi yang bersimbah darah, aku berdiri. Sebuah wajah cantik yang dikenal—ke arahku ia menyeringai. Rambut hitam legam yang menjuntai ke bawah, mata rusa betina.
"Kakak..!" Gadis itu memanggil dengan nada merayu, matanya menyipit ke bawah secara perlahan, tersenyum. Ada sekelibat kegilaan di senyumannya. Mulutnya berlumangkan merah segar. "Ah, aku tidak menginginkan Kakak melihat ini... tapi apa boleh buat semua sudah terjadi..."
"Ahyeon, sebenarnya apa yang sudah kau lakukan?" Aku bertanya dengan suara bergetar.
Bergulirlah mataku pada bangkai manusia di seberang. Tercongkelah salah satu mata sang mayat, kekosongan di rongga mata yang tersisa. Terkelupas kulit tangannya, daging merah dan nadi-nadi usai berdenyut yang tersisa. Tungkainya hilang. Lantas disadari oleh segenap kecerdasanku, bahwa sisa kaki yang hilang ditaruh di dekat bak mandi, berdiri dekat gergaji. Sembilan jari sang mayat sudah tidak ada di tempatnya.
Kembalilah sorotanku pada Jung Ahyeon, namun figur itu hilang dari tempatnya.
Lenguh kulepaskan, terkesiap. Jung Ahyeon sudah berada di belakangku! Tertawa kecil dirinya, seperti tawa roh hutan, tawa itu menggema. Segera lari menjauh aku, kendati diangkatlah pisau dapur dekat nadi leherku, di sisi lain dibelenggulah pinggulku dengan lingkaran lengannya. Bilah pisau mencium kulitku lembut, laksana ciuman kekasih.
"Kakak," berbisik Jung Ahyeon dengan manis, "Jangan pergi." Rengutlah mulutnya. Pantulan dua sosok di cermin kulihat, bibir Ahyeon sudah mencapai helaian rambut diri ini, dan hembusan napasnya menyapa ceruk leherku yang tegang. Kurasakan, hangat. Dan menggelitik.
Mengepalah tanganku. "Kau gila—Ahyeon."
"Setelah ini, yang tersisa hanya kita berdua." Mengediplah mata cantik Jung Ahyeon, dengan air mata yang menghiasi bulu mata, membuatnya terlihat bersinar, tapi suara Jung Ahyeon bergetar seolah mengantarkan ketulusan, kesedihan, dan penantian. Segeralah kuenyahkan pikiran kepayang itu.
Jung Ahyeon itu psikopat.
Selama ini, gadis yang kuanggap manis dan rapuh rupanya adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Dia palsu. Sejak awal, apakah senyuman dan tangis yang ia bebankan padaku juga palsu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby, I'm A Monster | Ahyeon
FanfictionAku telah mengenal Jung Ahyeon sejak masih kecil. Seorang anak yatim piatu yang membutuhkan pelukan hangat keluarga. Saat ayahku meninggal, hanya tinggal kami berdua. Aku mengenal Jung Ahyeon seolah garis takdir di telapak tanganku, tapi ada satu si...