Langit sudah tertutup awan sejak pagi. Bukan awan biasa, melainkan awan gelap yang membawa hawa dingin dan suasana kelam di tengah kota. Di penghujung musim gugur ini, suhu udara sudah tak tertahankan. Rasanya dingin, menggigit hingga ke tulang.
Tubuh Gayatri saat ini bahkan sudah menggigil di balik balutan mantel cokelatnya. Langkah kaki melebar seiring dengan tetesan hujan yang turun semakin lebat ke bumi. Ia tidak membawa payung. Terkaan kelewat sok taunya tadi pagi mengatakan, jika mendung yang saat ini mengurung hanyalah pengaruh musim gugur. Kenyataannya, memang akan turun hujan.
Iya, Gayatri memang tidak menonton ramalan cuaca. Ia melangkahkan kakinya semakin cepat. Trotoar yang dipijak perlahan mulai basah secara merata. Warnanya menjadi lebih gelap dan hawa lembap semakin meningkat. Gayatri mengerutkan hidungnya merasakan kelembapan itu.
Hangat yang tiba-tiba menggapai ketika melewati sebuah kafe di antara deretan toko di atas trotoar membuat Gayatri menghentikan langkah. Kepalanya mendongak dengan mata menyipit, membaca papan nama kafe tersebut; "Memòne Cafe".
Properti sederhana dengan serba-serbi kecokelatan juga pohon-pohon bonsai mungil yang dipajang menyebar dalam ruangan, dan lampu emas kekuningan yang menerangi bangunan beratap rendah itu membuat suasana fiktif. Seperti berada di dalam sebuah pohon ajaib.
Atmosfer yang terasa magis dengan hangat yang menguar serta aroma semerbak biji kopi berhasil membuai Gayatri yang kehujanan dan menggigil di luar ruangan. Jemarinya bergerak mengeratkan mantel. Dengan ragu, ia melangkah memasuki kafe tersebut dan mengedarkan pandangan.
Tidak begitu ramai pengunjung yang datang saat ini. Gayatri mengambil posisi duduk tepat di samping jendela raksasa berbingkai rendah. Rasanya menenangkan duduk di dalam kafe dan mengamati pemandangan monoton lalu lintas ibu kota di tengah hujan begini.
Sesaat setelah Gayatri mendudukkan dirinya, seorang pelayan laki-laki bertubuh jangkung dan berwajah blasteran segera datang menyambut. Pelayan itu menyerahkan buku menu dan menjelaskan beberapa menu andalan yang mereka punya.
Gayatri hanya merespon dengan senyuman dan anggukan. Kemudian, memutuskan untuk memesan hot caramel latte dan wafel. Ia tidak akan lama, sekadar mampir selagi menunggu hujan reda, tidak perlu memesan terlalu banyak.
Seraya menunggu pesanannya datang, Gayatri melempar pandangan ke luar jendela. Hiruk pikuk jalanan yang dipenuhi kendaraan dan manusia tampak begitu sibuk. Di tengah ramai yang mengelilingi, entah mengapa dirinya justru merasa semakin kesepian.
Sudah terhitung hampir lima tahun sejak kepindahannya ke Jakarta, dan Gayatri masih belum bisa lepas dari kesendirian. Sudah banyak orang yang ia kenal, tetapi tak ada satu pun yang mampu menghadirkan perasaan hangat layaknya rumah.
Gayatri masih merasa terasingkan.
Embusan napas lolos dari bibirnya yang memerah karena dingin. Di tengah lamunan, Gayatri berhasil menangkap suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Kepalanya sontak berputar mencari sumber suara. Pesanan sudah tiba, pikirnya.
Namun, kebingungan justru kini menyelimuti, kala dirinya menemukan sosok laki-laki asing berdiri menjulang di samping mejanya. Mantel hitam panjang yang dikenakan laki-laki itu tampak basah. Rambutnya pun kuyup dan layu menjuntai, menutupi kening juga setengah matanya.
Gayatri membuka mulut hendak bicara, tetapi laki-laki itu lebih dulu bersuara.
"Permisi." Suaranya lembut, agak sengau. Gayatri berkedip dua kali dengan cepat dan mengulum bibirnya.
"Apa aku boleh duduk di sini? Di depanmu?" Laki-laki itu kembali melanjutkan. Tangan kanannya bergerak, memberi gestur menunjuk dengan sopan pada kursi kosong di seberang Gayatri.