"Permisi, Pak. Saya izin pulang, ya?" ucap Nayra pada salah satu dari dua lelaki yang kini duduk di salah kursi panjang dan sibuk menata piring di atas meja sambil bercengkerama akrab.
Nayra menahan hasrat untuk tidak melayangkan pandangan pada pemuda di samping sang atasan yang sedari tadi ia ketahui tengah memandang ke arahnya.
"Loh, kok pulang, Nay? Ini makanannya belum datang semua."
"Iya, gak apa-apa, Pak. Saya ada urusan, ingin pulang cepat."
Atasannya itu mengangguk-angguk paham. "Baik kalau begitu. Pesan sesuatu dulu untuk dibawa pulang, Nay."
"Nggak usah, Pak. Saya langsung pulang aja." Nayra membungkuk sopan sebelum mengambil blazernya yang disampirkan asal di sandaran kursi. "Saya permisi, Pak."
Nayra merasakan lengannya ditarik ketika hendak keluar mal, tempat mereka semua akan makan malam bersama. Raut wajahnya yang terkejut perlahan berganti bingung, lalu setengah tak acuh ketika mendapati siapa yang menggamit lengan dan menariknya ke arah yang berlawanan menuju parkiran.
"Kak, aku bisa pulang sendiri."
"Aku anter," balas Janu cepat. "Lagian, kenapa tiba-tiba pulang? Ada urusan apa? Kamu gak enak badan apa gimana?"
Nayra mendesah pelan. Sungguh, ia tidak ingin berdebat. Bahkan, untuk sekadar berinteraksi saja tidak mau, karena itulah ia memilih pulang. Terlebih lagi, orang yang saat ini ingin Nayra hindari adalah Janu.
Mereka tiba beberapa saat kemudian di depan mobil SUV hitam dan Nayra pun melihat Janu yang memutar tubuh menghadap ke arahnya.
"Kamu marah sama aku karena makan malam ini?"
Nayra bergeming, tidak menjawab. Ia berjalan melewati Janu menuju pintu penumpang. "Aku cuma mau pulang. Unlock?"
Janu segera mengikuti ucapan Nayra dan mengeluarkan kunci dari saku celananya sebelum menekan tombol unlock. Nayra pun segera membuka pintu dan duduk di kursi penumpang.
Pandangan Janu terus mengikuti Nayra. Sampai ketika manik itu menatap ke arahnya setelah mengenakan seat belt, barulah Janu beranjak ke arah pintu pengemudi.
Nayra dan Janu sama-sama bekerja di bagian produksi sebuah perusahaan periklanan, dengan Janu yang sudah bekerja selama satu setengah tahun lebih dulu dibandingkan Nayra.
Berawal dari berkuliah di satu fakultas yang sama hingga kini bekerja di tempat yang sama pula, bukankah itu menyenangkan?
Bagi Nayra, maybe not entirely.
Tidak begitu menyenangkan ketika mereka sepakat untuk tidak memberitahu perihal hubungan mereka kepada seluruh kolega di kantor.
"Ayra, gini." Janu menaruh satu tangan Nayra di pangkuan ketika mobil mereka berhenti karena lampu merah. "Aku minta maaf bikin makan malam kita jadi bareng satu divisi. Aku gak tau kalau mereka buat jadwal ini. I thought you said you're with it?"
"Aku cuma mau pulang, Kak. Stop asking questions, please?"
"Jangan diemin aku kayak gini."
"Biasanya aku juga gak banyak ngomong, 'kan."
"Ay-"
"Jalan, Kak," ucap Nayra sembari mendorong tangan Janu untuk kembali ke persneling. "Lampunya udah ijo."
Janu mendesah pelan, tapi tetap mengikuti ucapan Nayra dan fokus ke jalanan menuju apartemen mereka. Tampaknya, tidak ada cara lagi selain menunggu Nayra untuk datang sendiri padanya dan mengungkapkan apa yang mengganggu gadis itu, seperti biasa.