Prolog

14 0 0
                                    

Dibawah remang-remang cahaya lampu taman, suara bising menjadi latar suara. Aku menarik nafas dalam-dalam, sekujur tubuhku merasa hangat dan jantungku berdegup tak karuan. Sangking deg-degannya, aku bisa mendengar degupannya keluar dari dalam.

"Wa-" kerongkonganku kering, seperti tercekik dari dalam. Aku menelan ludah, lalu kembali menarik nafas panjang. Berulang kali aku meyakini bulat-bulat tekadku yang telah di buat jangka panjang. Ini saatnya untuk berbicara.

"Walaupun pertemuan ini sungguh singkat,"

Lagi-lagi suara ku terjerat. Semua keberanian, ku raup sekuat tenaga. Suara yang lebih kecil lagi aku mengatakannya, "Aku suka kamu, Rash."

Arash hanya menatapku dengan senyuman semerbah, seakan dia menyukaiku balik. Tetapi, tidak.

"Makasih ya, Rael. Gue juga" jawabnya dengan polos

Bukan itu yang aku maksud, Arashaka. Aku suka kamu, perasaan ku itu bukan suka sebagai teman. Bodoh. Aku berusaha tegar, walaupun tahu aku lah yang dibodoh-bodohi di balik senyumannya. Aku tahu, dia menolakku tapi juga tak ingin aku membenci dirinya.

Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mendesah berat seraya menatap germelap langit malam.

"Gue kira apa sepenting itu," lirihnya

Aku menggeleng-geleng pelan memaksakkan senyuman isakkan dadaku. Bagi Arashaka yang sering mendapat pernyataan cinta, ini hanya buang-buang waktunya saja. Aku malu, benar-benar malu. Tapi, diwaktu berasamaan hatiku merasa hampang. Aku dengan wajah merahku, menatap Arash yang lebih tinggi dariku. Pantulan cahaya dimatanya kuamati penuh perhatian. Pikiran apa Raela, kamu, menembak cowok seindah ini.

Akankah Arash menghindari aku sehabis menyatakan perasaanku? Banyak kekhawatiran tiba-tiba merasuki pikiranku, tapi kubuang jauh-jauh dahulu. Karena yang lebih penting katiku pelan-pelan sesak. Melayu, merasa pupus harapannya.

"Sudah mau pulang? Bentar lagi jam 8, nih." ajaknya

Aku mengangguk pelan mengiyakan.

"Ayo, gue anterin aja." sambung Arash mengajakku ke parkiran. Sepatah kalimat itu menyemangati kelesuan yang terukir diwajahku.

Arashaka berdiri tepat di samping motornya, mengangkut helm cakil miliknya. Dan mulai mengeluarkan kendaraan roda dua itu dari parkiran. Setelah memakai helmnya, Arashaka menungguku untuk segera naik. Tapi, entahlah aku tak bawa helm.

"Tapi, Arash. Aku enggak ada helm." Ujarku merasa tak enak, apa aku harus melepaskan kesempatan emas ini. Kamu tidak ingin menyusahkan Arashaka, kan Raela?

"Naik aja, sembunyi di belakang gue." pintanya mengangkat sebelah tangannya untuk menjadikan genggaman ku saat naik.

Aku menuruti perintah Arashaka, menaikki pijakan kaki motor. Menyeimbangi badan ku saat naik, lewat cengkaramannya. Ini pertama kalinya aku berboncengan dengan Arashaka, kupastikan ini bukan hayalan lagi.

Kami tidak banyak bicara diatas motor, terlalu gugup dan saling mematikan topik. Dingin malam menusuk pori-pori kulitku, lamun kehangatan berdesir mengalir di darahku. Beberapa dahan ditingkap merapuh, dipukul angin berkecepatan tinggi kami. Kota kala itu luar biasa manis melalui rentera jalanan, tentunya suasana hatiku menjadi kunci utamanya.

Tak terasa, motor Arash terhenti seketika. Dengan sopannya, ia mempersilahkan aku turun. Arash juga, ini pertama kalinya datang kerumahku.

Secara hati-hati, aku beranjak mendaratkan kaki di aspal. "Arash, maaf ya aku ganggu. Makasih banyak tumpangannya" Ucapku masih merasa tidak enak dengannya sudah di buat kerepotan.

"Gapapa, kok. Udah malem Rael, kasian gue ninggalin lo sendiri. Gue duluan ya" pamitnya tanpa sempat bersinggah dulu di rumahku.

Aku melambai tangan dan Arash membalas senyum tipis. Gila, senangnya bukan main!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Stray HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang