----
Sakit, satu kata yang bisa Naren rasakan saat ini, pukulan serta tamparan yang diberikan oleh sang ayah bukan main-main, bahkan mampu meninggalkan bekas lebam yang cukup kentara di kulitnya.
"Itu akibat kamu nggak mau turutin apa kata Ayah," ucap Jaya, lantas ia pergi untuk masuk ke dalam kamarnya, disusul dengan Diana yang juga kembali masuk ke dalam kamar.
Naren menunduk, ia merasa kecewa kepada ibunya itu. Harusnya, ibunya melerai aksi Jaya tadi; membela Naren dan bukan malah diam menyaksikan.
"A-ayen," panggil Hesa takut-takut kala tinggal dirinya bersama dengan Naren di ruangan ini.
Naren hanya melirik Hesa, lantas ia langsung berjalan menuju kamarnya tanpa menghiraukan keberadaan sang kakak. Jujur, ia juga merasa kecewa kepada kakaknya itu, mengapa Hesa tidak menolongnya? Padahal, Naren selalu membantu pemuda itu ketika sang ayah memarahinya.
"Ayen, maaf," ucap Hesa sesaat sebelum Naren menghilang di balik pintu kamarnya yang kemudian tertutup rapat.
Hesa meremat jari-jari tangannya, perasaan tak enak menyelubungi setiap sudut dalam hatinya.
"Harusnya aku nggak diam aja kayak tadi, dasar bodoh! Aku bodoh!" Helaian rambutnya ia tarik kasar, pun juga dengan tangan kanannya yang mulai memukuli kepala berhiaskan surai hitam miliknya.
"Ayen pasti marah ..."
Cengeng, Hesa itu cengeng, ia sangat mudah menangis, lantas ketika dihadapkan oleh situasi semacam ini, ia hanya bisa mengukir jejak air mata sembari berusaha memecahkan masalah dengan otak kecilnya.
****
Sesaat setelah menerima pesan tersebut, sebuah panggilan telepon Naren dapatkan dari Jeremy.
"Kenapa telpon, Jer?" tanya Naren heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] BENARKAH INI RUMAH? [SEGERA TERBIT]
Teen Fiction[Segera terbit] Naren yang dipaksa dewasa oleh keadaan dan Hesa yang tidak akan pernah dewasa. Keduanya dipaksa bertahan di dalam sebuah bangunan yang sering di sebut 'rumah' meskipun tempat itu telah kehilangan perannya. Menjadi adik yang berperan...